"Masih marah?" tanya Bisma melihat Icha mengemasi buku dan peralatan tulis ke dalam tas. Ya, sudah masuk jam istirahat. Icha tak bereaksi sama sekali, membiarkan Bisma dan memilih pergi, berjalan. Sampai di ambang pintu, Icha memandang ke belakang.
"Anterin ke perpustakaan, ya?" Icha tersenyum. "Buruan!" seru Icha sambil mengedipkan mata, sekali.
"Eh?" Bisma belum mengerti.
***
"Yeay! Yeay!" Icha bagai anak kecil. Tak jauh di belakang, Bisma mengawasi Icha yang sesekali melompat kecil ketika berjalan. Bisma hanya menggaruk kepala, kebiasaannya.
"Bisma, Bisma." Icha mengintip sebuah ruangan dari pintu yang terbuka dan melambaikan tangan ke arah Bisma. "Ini tempat apaan, Bisma? Perpus? Kok kecil banget? Bukunya juga dikit, malah banyak majalah gitu?" Icha berspekulasi menatap beberapa orang yang beraktivitas di dalam ruangan itu.
"Ini tuh ruang eskul mading sama majalah," jawab Bisma, seadanya.
"Oh." Icha memulai kembali langkah kaki di koridor, melanjutkan perjalanan.
"Gitu doang?" Bisma menyusul dari belakang. Ia sempat menggelengkan kepala.
***
"Wah!" Icha terpukau setelah memijakkan kaki di sebuah ruangan yang begitu luas. Ia dan Bisma berdiri tak jauh dari ambang pintu. Di hadapannya, ada bangku sepanjang sekitar dua meter yang dijaga oleh penjaga perpustakaan dan menghadap ke sisi kanan pintu. Selain itu, di tengah-tengah ruang, rak-rak setinggi 2,5 meter tertata rapi dengan beberapa lorong dan jeda di tiap penempatannya.
Icha juga mengedarkan pandangannya ke segala arah. 3 dari 4 sisi tepi ruangan, beberapa rak menempel pada dinding. Selain itu, dekatnya sudah disediakan tempat untuk siswa membaca. Lalu, Icha menengadahkan kepala dan sorot matanya menangkap lantai atas yang menyerupai balkon dengan lebar sekitar 3 meter.
Icha dapat melihat di tiga sisi dinding lantai atas yang dipenuhi bangku-bangku dan beberapa rak. Balkon atas itu juga dilengkapi pagar pembatas yang terbuat dari kayu dan memiliki dua tangga di kedua sudut. Keren, pikir Icha. Tiada hentinya ia terkagum.
"Luas banget, ya? Ini mah tiga kali lebih besar dari perpustakaan sekolahku dulu." Icha mulai berkeliling perpustakaan, menjajaki setiap yang ia temui. Dan Bisma hanya mengekor di belakangnya.
Tap! Tap! Icha menaiki tangga menuju lantai atas yang di bawahnya yang sejajar dengan pintu masuk dan Bisma terus mengikutinya. Ia berdiri tepat di tengah-tengah balkon. Ia juga mendongakkan kepala, melihat pipa besi yang melintang dan tertanam di dua sisi tembok yang saling berhadapan, tempat menggantungnya lampu-lampu. Jarak pipa dari kepalanya mungkin sekitar 1,5 meter dan tepat di atasnya.
"Bisma, kok hening ya?" tanya Icha seraya melihat keseluruhan yang ada di lantai bawah.
"Ya, jelas hening. Perpustakaan ini tuh kedap suara dan gak boleh berisik." Bisma berusaha tenang dalam gelisahnya.
"Bukan gitu. Maksudnya nih perpustakan kok sepi banget? Di bawah aja cuma ada tiga orang, di atas cuma kita berdua. Bukannya murid di sekolah ini banyak ya? Tempat segede ini yang dateng dikit bener?" Icha menjejali Bisma dengan beberapa pertanyaan.
"Em..." Bola mata Bisma bergerak ke kanan-kiri. Bisma bingung, bagaimana ia menjelaskannya kepada Icha.
"Minjem buku di sini, boleh dibawa pulang, gak?" tanya Icha lalu menoleh ke arah Bisma.
"Bo-boleh," jawab Bisma sedikit gagap.
"Yes!" Icha langsung bergegas menuju tangga dan turun dengan raut wajah ceria.
"Eh?" Bisma buru-buru menyusul Icha.