"Ngapain juga tu anak nyuruh gue ke sini?" Bisma mendumel ketika memasuki ruangan yang dipenuhi rak-rak buku dan bangku-bangku. Ia dapat melihat jika tidak ada petugas perpustakaan yang berjaga. Ia juga memutar pandangan yang sejajar dengan matanya. Ya, ada yang sedang ia cari. Nihil, tidak ada orang.
"Bisma," panggil seorang gadis dengan suara keras.
Mendengar namanya dipanggil, Bisma menoleh ke sumber suara. Seketika, ia membelalakkan mata dan mendorong tubuh ke belakang, menghantam beberapa buku yang ada di meja penjaga perpustakaan. Raut wajahnya langsung berubah kaku, tersentak ketika melihat Icha berdiri di atas kursi yang bertumpu pada tepian atas meja yang sudah dipepetkan dengan pagar pembatas lantai atas.
"Eh?" Bisma makin syok karena Icha membawa gulungan tali yang mengalung di tangan kiri dan pergelangan tangan kanan yang bergerak memutar sebagian dari ujung tali tambang. Apa yang sedang dilakukan Icha?
Dengan perasaan kacau, Bisma berlari sekencang mungkin. Sesekali, ia tak sengaja menabrak kursi. Tapi, ia tak peduli. Di pikirannya hanya ada Icha dan harus sampai tepat waktu. Dan sekarang, ia harus menaiki anak tangga satu per satu. Berhasil, selesai. Tanpa harus berhenti, ia bergegas mendekati dan memeluk kaki Icha, memejamkan mata.
"Aaaaa!" Icha berteriak.
Dug! Terkejut, Icha menendang kuat bahu kanan Bisma. Alhasil, Bisma jatuh tersungkur di atas lantai, meringkuk. Icha tampak cemas lalu merapatkan kedua kaki dan memegangi kuat roknya.
"Lo ngintip ya?" Dari paras muka, Icha terlihat marah dan melototi Bisma yang sedang berusaha bangun. Jahat, pikir Icha.
"Gue gak ada niatan ke situ." Bisma berusaha untuk menenangkan dan menjelaskan kepada Icha agar tidak terjadi kesalahpahaman. Meski begitu, Bisma juga memegangi pundak yang terasa sakit. "Lo turun ya," bujuknys. Sepertinya berhasil, mungkin luluh.
"Padahal gue liat dikit." Bisma bersuara lirih dan seringai menghias di bibir.
Bagh! Icha melepas lalu menimpukkan sepatu kanannya hingga mengenai wajah Bisma. Ia benar-benar marah, melipat kedua tangan di bawah dada dan membuang muka. Meski, ia mendapati Bisma hampir roboh karena ulahnya, bodo amat. Menyebalkan sekali.
"Duh," sambat Bisma menyentuh wajahnya, memastikan tidak luka. "Gue cuma bercanda," jelas Bisma menahan sakit. "Gue minta maaf. Tapi, turun ya." Ia mengulurkan tangan dan menghampiri Icha. Kali ini, ia sangat berhati-hati. Jika tidak, mungkin saja Icha melempar kursi kepadanya. Ia harap, Icha menurutinya. Berhasil, Icha menganggukkan kepala.
"Lebih baik lo jagain anak baru itu."
Dengan pelan, Icha turun dari kursi dan memijakkan kaki di atas meja. Setelah itu, Icha lompat ke bawah dengan bantuan Bisma. Hap! Dengan tubuhnya, Bisma menangkap Icha dalam pelukannya. Akhirnya, Bisma bisa bernapas lega dan bayang-bayang khawatir pun memudar.
"Bentar." Bisma melepas dekapan dan menyingkapkan poni rambut Icha dan dapat melihat jelas setiap lekuk wajah Icha.
"Maaf." Meski Bisma mendapat anggukan kecil dari Icha, ia yakin jika Icha masih kesal kepadanya, bahkan sedari pagi. Kemudian, Bisma mengambil kursi yang ada di atas meja dan meletakkannya di lantai. Bisma juga menyuruh Icha untuk duduk di sana.