"Sebenarnya..." Bisma menggantungkan ucapan lalu memandang ke arah Icha agar memberi isyarat harus mengatakan apa, kebingungan. Dan setelah itu, ia dapat melihat jika Icha membuka buku yang sedang dibawa, mencari-cari. Ketemu lalu menunjukkannya pada Pamat.
Pamat tampak menarik raut wajah hingga tegang, syok saat membaca coretan bolpoin di dua halaman. Bola matanya bergerak ke mana-mana. Ia seperti orang kelimpungan dan tidak tahu harus merespon bagaimana. Lagi, ia menatap penuh tanya, berusaha tenang.
Meski diam dengan raut wajah lempeng saja dan tidak ada pergerakan lain, Icha mengawasi sekeliling lalu memperhatikan Pamat dengan saksama. Ia terlihat tak peduli, begitu dingin. Ia tak mau jika ada hal yang akan terlewat. Tak lama kemudian, Icha sedikit menundukkan kepala dan menatap kosong ke sisi kanan.
"Kami berdua gak sengaja nemu ini dan mulai curiga ada yang gak beres dari kematian Karin? Apa Pamat tau sesuatu?" Bisma menjelaskan maksud dan tujuan. Namun yang ia lihat, Pamat menunjuk Icha yang ada di sampingnya dengan tangan bergetar.
"Oh. Ini temen satu kelas saya, murid baru." Bisma memperkenalkan Icha yang sama sekali tidak bereaksi di sebelahnya. Sedangkan Pamat mengambil buku catatan kecil dan satu pulpen. Pamat langsung menuliskan sesuatu di sana dan menunjukkannya kepada Bisma.
"Saya tidak tahu apa-apa," ucap Bisma membaca tulisan Pamat kemudian mendongakkan kepala. Ia tak tahu harus menanyakan apa lagi.
Buk! Pamat menutup cepat buku catatan dan menaruhnya ke saku kemeja. Bisma yang melihat aktivitas Pamat, merasa aneh. Ditambah lagi ketika Pamat buru-buru meninggalkan dirinya dan Icha. Bisma hanya diam kemudian mengoper pandangan ke arah Icha yang masih bergeming.
"Kenapa dia nulis?" tanya Icha dengan suara datar.
"Dia gak bisa bicara," jawab Bisma mengerutkan dahi dan memikirkan sesuatu. Ada yang aneh dari gerak-gerik Pamat, pikirnya. Namun ia berusaha untuk tidak berprasangka buruk dan memejamkan mata, sekali. Entahlah.
***
Brak! Pamat masuk ke sebuah ruangan dan menutup pintu dengan keras. Di sana terdapat almari loker, dispenser air, alat-alat kebersihan dan beberapa bangku. Dengan langkah tergesa-gesa, ia meletakkan alat pel di tempatnya. Terlihat jelas jika dahinya mengucur keringat. Ia pun berjalan mendekati loker miliknya yang berada di tengah-tengah lalu membukanya.
Dengan tangan yang sedikit basah oleh peluh, Pamat menutup mulut dengan satu telapak tangan kemudian mengusap ke atas hingga rambutnya. Raut wajahnya begitu dingin dan cemas berkepanjangan. Dan satu tangan lain bergerak mengambil sesuatu yang terbungkus memanjang sapu tangan corak kotak-kotak.
Pamat membuka lipatan kain itu dengan pelan. Ia dapat melihat sebuah pisau lipat berwarna hitam di baliknya. Ia menarik dan mengeluarkan sebilah pisau yang tajam dan mengkilat dari dalam. Ia pun menatap kosong ke arah benda tersebut.
Pamat mengeser tubuhnya dari loker dan berbalik, menghadap cermin yang menggantung di tembok. Ia mengalihkan pandangannya ke pantulan bayangan dari sepertiga tubuh atasnya di dalam kaca. Ia dapat melihat dirinya yang sedang membawa benda tajam itu menjulang ke atas, tepat di depan muka.
Tubuh Pamat sedikit gemetaran. Rasanya ingin sekali berteriak. Tapi, jelas tidak bisa bagi dirinya. Ia menitikkan butiran bening dari sudut mata, menangis.
***
"Lo ngerasa aneh gak, sih? Sama Pamat?" Bisma mengutarakan hal yang sedari tadi mengganggu pikiran dan terkadang menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Terlalu berat, pikirannya tak sampai. Tapi ia berusaha untuk menemukan jawaban. Mustahil, mungkin. Ia menoleh ke samping kanan, ada Icha yang berjalan bersamanya.
"Emm..." Icha menyentuh bibirnya yang rapat dengan jari telunjuk dan melirik ke sudut kanan atas mata, berpikir. "Enggak," jawab Icha dengan polos dan entengnya.