"Lo dapet dari mana bunga Lily itu?" tanya Wildan mengawasi bunga bakung yang sedang dibawa Icha.
"Dia hampir ketiban pot bunga dari atas," sahut Bisma memberi kode ke arah Icha yang duduk di bangkunya sambil membuka-buka buku catatan kecil.
"Lo gak pa-pa, Cha?" Sorot mata Wildan langsung tertuju pada Icha yang di sebelahnya, khawatir.
"Gue cuma mau mastiin. Seperti yang kalian katakan, di tempat kejadian ada satu bunga Lily putih?" Icha menunjuk tulisan di buku catatan. Bahkan, ia tak menghiraukan perhatian dari Wildan saat ini.
"Iya, gue liat sendiri ada Lily di sana. Menurut penyelidikan polisi, bunga itu yang bawa Karin sendiri karena hanya ada sidik jari Karin di situ." Sesekali, Wildan melihat Icha yang mematung dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ia tak tahu pasti apa yang sedang dipikirkan oleh Icha. Tapi ia tak hentinya memperhatikan Icha.
"Setau gue, bunga Lily putih itu punya arti duka cita. Dan gak sedikit orang juga nyebut bunga itu bunga kematian." Melisa melipat kedua tangan di atas perut dan sedikit duduk di tepian bangku. Beberapa saat, ia menggigit bibir bawahnya lalu memijat-mijat pelan pelipis dengan jari telunjuk dan tengah.
"Apa mungkin, orang yang hampir bikin Icha celaka itu sama dengan pelaku di balik kematian Karin?" Damar memaparkan hasil pemikiran setelah menyimak pembicaraan di antara kawan-kawannya. Sedangkan Icha yang tampak tenang pun, melirik Damar sebentar.
"Iya juga, sih. Dalam satu bulan, ada bunga Lily di dua insiden yang beda. Aneh aja, gitu. Gue semakin yakin, kalo Karin itu gak bunuh diri." Melisa mengusap-usap lengan atas kiri dengan tangan kanan. "Apa mungkin, Icha jadi target pelaku untuk selanjutnya?"
Icha tak berkutik dan memfokuskan penglihatan pada kata 'Lily' yang tertulis di buku. Ia masih mendengar kawan-kawannya berbicara. Pikirannya melambung entah ke mana, serasa membisu di sekitarnya. Tak ada suara yang masuk ke dalam telinga.
***
Drrrtttt! Icha sedang duduk membelakangi bangku. Ia memutar dudukannya hingga menghadap meja belajar karena mendengar getaran ponsel yang berada di sebelah setangkai bunga bakung dan diary. Ia memutar pandangan ke seluruh sudut kamar yang hampir dipenuhi sarba-serbi warna krem. Ruangannya tak begitu terang menyala, membuat mata lebih nyaman memandang.
Dengan tangan kanan, Icha meraih ponsel dan melihat sebuah pesan yang masuk. Tanpa berpikir panjang, ia menyentuh bagian notifikasi dan diarahkan ke ruang obrolan. Bola matanya bergerak membaca pesan itu. Ia sempat melirik ke sisi kiri dan mengejapkan mata, satu kali. Kemudian mengoper sorot mata ke arah bunga bakung.
Cekrik! Icha mengambil gambar bunga bakung putihnya. Setelah itu, ia melampirkan hasil jepretannya itu ke dalam ruang obrolan. Kirim dan berhasil. Ia sempat tersenyum tipis dan meletakkan ponselnya.
Tak berhenti di situ, Icha mengutip bunga bakung putih dan satu tangan lain mengambil gunting yang ada di dalam laci. Krek-krek. Ia memotong-motong bunga itu menjadi beberapa bagian. Ia terus menggunting hingga semua menjadi potongan kecil. Ia mengumpulkannya menjadi satu di telapak tangan, membuangnya ke tempat sampah yang tak jauh dari meja belajar. Ia pun menyeringai, sedetik.
***
Icha berjalan di tiap lorong jeda antar rak buku perpustakaan. Dan seperti biasanya, Bisma membuntuti dari belakang. Sorot matanya begitu tajam, mengawasi tiap bagian yang ia temui, termasuk lantai vinyl bermotif kayu yang ia pijaki. Terkadang ia menarik ujung buku di beberapa letak dan mengintip ruang kosong di antara buku-buku. Sedetail, mungkin, tak ingin ada yang terlewat. Sangat serius.
"Kita ngapain di sini?" tanya Bisma menggaruk-garuk rambut lalu menyisirnya ke belakang.