Di ruang bimbingan dan konseling, Icha duduk berhadapan dengan seorang laki-laki berumur sekitar 30-an yang dipisahkan oleh sebuah bangku. Pria itu nampak mengenakan jas hitam dan kemeja putih berdasi. Dan ia hanya bersikap tenang, lempeng saja. Meski sesaat, ia sempat menarik kedua sudut bibir kemudian melirik Bu Rahayu yang ada di sebelahnya.
Krek! Terdengar suara pintu terbuka, semua yang ada di dalam ruangan langsung menggerakkan kepala, menatap pintu yang didorong dari luar. Perlahan-lahan, muncul seseorang dari balik pintu. Icha memejamkan mata sedetik dan seringai kecil menghias di sudut bibirnya.
***
"Oke," sahut Icha yang sedang berhadapan dengan seorang laki-laki berpakaian serba hitam. Dan tak lama setelah itu, laki-laki itu beranjak, meninggalkan dirinya di depan ruang BK. Ia langsung membalikkan tubuh dan memanyunkan bibir, kebiasaan. Ia juga sedikit mempercepat laju kaki sambil menyirapkan rambut ke belakang telinga. Matanya begitu berbinar-binar.
"A?" Dengan memelankan suara, Icha menghentikan langkah. Ada hal yang menarik perhatian, pikirnya. Lalu, ia menoleh ke samping, sedikit ke belakang. Pandangan matanya menangkap sosok pemuda yang tampak tidur sambil bersandar di pilar teras. Ia mendekati pemuda itu sambil menyungging senyuman. Selain itu, tangannya bergerak menuju rambut pemuda itu yang tampak jarang-jarang di depan kening.
Belum sampai menyentuh, tangan Icha tertahan karena gerak cepat dari pemuda itu mencengkeram pergelangannya. Ia dapat melihat jika pemuda itu mulai menarik kelopak mata ke atas. Ia hanya berlaku seperti biasanya, wajahnya berseri-seri. Ia pun mengukir senyuman.
"Eh?" Bisma sedikit kebingungan, gadis yang berjam-jam ia tunggu sudah berada di depan mata. Ia cukup gelagepan dan membenarkan posisi berdiri. Ia juga menurunkan tangan Icha.
"Selamat pagi," sapa Icha penuh semangat '45. Bocah.
Bisma tertawa kecil melihat aksi Icha yang begitu lucu, menurutnya. "Udah gak bisa dibilang pagi juga ini." Ia masih belum berhenti dari tawanya lalu menggelengkan kepala, sekali. Sesaat, ia mengintip langit dari tempatnya.
"A!" Icha menunjuk Bisma dengan posisi jari menyerupai pistol. "Akhirnya lo ketawa juga." Ia tak menyangka, ia bisa melihat pemandangan langka dari Bisma. Entah kenapa ia bisa sebahagia ini. Karena momen kali ini belum pernah ia lihat sebelumnya dari Bisma. Yes!
Mendapati ekspresi Icha yang sumringah, Bisma akhirnya bisa bernapas dengan lega. Karena Bisma tahu jika Icha telah menepati ucapan yang telah dilontarkan kepadanya. 'Tenang saja', itu yang ada dalam benaknya. Gelisah yang menghantuinya pun mulai berangsur hilang. Ia tak ingin meragukan Icha lagi.
***
Seorang gadis berkaca mata sedang diam, mengawasi kelas XII IPA B dari luar jendela. Ia menyatukan kedua tangan di atas dada, menempel. Ia sama sekali tidak bereskpresi dan untuk beberapa saat menutup mata. Tidak seperti biasanya, rambut kepangnya hanya ada satu di belakang.
"Nikita ..."
Mendengar namanya dipanggil, Nikita langsung mengalihkan pandangan ke asal suara dan mendapati Wildan yang berdiri di depan pintu yang disekat garis polisi. Ia buru-buru menurunkan tangan lalu berbalik. Ketahuan, pikirnya. Gerak matanya tak tentu, gugup. Dan langsung melarikan diri.
"Eh?"