Untuk mengisi perut mereka, Icha dan Bisma mampir ke sebuah kafe yang tak jauh dari area taman rekreasi. Mereka memilih tempat yang dekat dengan dinding kaca agar bisa melihat keluar. Mereka duduk berhadapan dan terpisah oleh meja yang ukuran yang tidak terlalu besar. Tak lama kemudian, pelayan kafe menghampiri mereka dan memberikan buku menu.
"Parfait satu sama pastanya juga," pesan Icha yang tergiur melihat gambar makanan di dalam buku menu. Terlihat enak, pikirnya. Ah, tidak sabar.
"Parfait satu dan pasta satu," ucap pelayan mengulangi pesanan Icha sambil menulis catatan. "Kalo masnya apa?"
Icha memangku dagu dengan telapak tangan dan kedua siku bertumpu pada meja. Sesekali, ia menekan-nekan pipi kanan dengan jari-jari. Meski sudah memesan, ia masih memperhatikan buku menu yang berisi gambar beserta nama makanan dan minuman. Setelah itu, ia menggiring pandangan ke pelayan yang sedang menulis. Pelan-pelan ia mulai mengerti akan suatu hal. Secara bergantian, ia memandangi tulisan di daftar menu dan gerak tangan dari si pelayan.
"Roti bakar sama cappucino." Bisma menyebut nama makanan dan minuman yang ingin ia pesan. Ia mengangguk, tanda sudah menyelesaikan pesanan.
"A!" Icha berteriak sambil melepas tangan dari dagu. Hal itu membuat Bisma dan si pelayan menatap ke arahnya dengan simbol tanda tanya yang ia lihat di sekitar kepala mereka. Icha tertawa kecil, cengengesan.
"Tambah air putih ya, mbak."
"Baik, segera kami siapkan. Mohon ditunggu." Dengan senyum ramah, si pelayan undur diri dari dari tempat Bisma dan Icha, pergi.
"Bisma," panggil Icha membuyarkan Bisma yang sedang mengawasi pemandangan luar. "Makasih ya," tambah Icha sambil menumpuk kedua tangan di atas meja.
***
"Pamat?" panggil Icha sedang berdiri sambil menyandar pada salah satu pilar tembok dan mendapati Pamat keluar dari pantry. Ia mengangkat tangan kiri sejajar dengan kepala lalu menepuk-nepukkan dua jari tangan kanan di bagian pergelangan, memberi sebuah kode.
"Pamat, saya liat, loh." Icha berjalan menghampiri Pamat yang berdiri, bersebelahan dengan pintu. Tak terlalu dekat, ia berdiri di depan Pamat dan menyungging senyuman.
Icha menunggu Bisma di halaman dekat teras. Sesekali, ia bermain dengan jari-jari atau memaju mundurkan kaki kiri di atas tanah karena bosan. Tak berselang lama, ia merasa suasana di sekitar berubah drastis dan aneh. Lalu ia mendongakkan kepala ke atas. Ia dapat melihat jika ada dua tangan yang memiliki tanda garis-garis di pergelangan, melepas pot tanaman dan setangkai bunga bakung putih dari atap.
"Awas!" Bisma berteriak dan berlari ke tempat Icha. Ia mendorong tubuhnya dan Icha ke sisi lain agar tak tertimpa pot yang jatuh dari atas.