"Loh?"
Mereka berempat bergegas mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk mencari Icha. Dan akhirnya, mereka mendapati Icha yang sedang berjalan keluar, meninggalkan kantin. Mereka sempat terkejut ketika Icha tak bersama mereka lagi.
"Gue yang udah capek mikir keras maksudnya dia apa tapi dianya malah cabut," geram Bisma menarik kaku seluruh raut wajah. Ia kesal dengan Icha yang pergi begitu saja tanpa berpamitan. Bahkan ia tak sadar ketika tangannya meremas kuat botol minuman hingga tumpah sedikit. Ketiga teman lainnya hanya tercengang mengawasi aktivitas tangan Bisma.
***
Icha menatap sayu kakinya yang berjalan pelan. Ia belumlah pulih, namun pikirannya tak berhenti untuk memecahkan kasus. Sekali, ia menghela napas dengan lelah. Ada rasa bersalah yang tak terselesaikan di dalam diri, membuatnya tak bergairah menjalani hari. Tetapi, entah kenapa ia teringat pada Bisma saat ini. Ia merasa selalu merepotkan Bisma dengan semua tingkah lakunya.
"Eh?" Sorot mata Icha menangkap sosok gadis berkacamata yang berdiri tak jauh di depan pintu pantry. Posisinya memang tidak terlalu dekat dari gadis itu, tapi ia merasa heran, mengapa Nikita berada di sana. Lalu, ia melirik sisi kanan bawahnya, berpikir. "Bisma," panggilnya menghentikan langkah sambil menatap lurus ke depan.
"Gimana bisa?" lirih Bisma bertanya-tanya. Padahal ia sudah tak bersuara dan bahkan memelankan laju kaki agar tak terdengar oleh Icha. Tapi ia salah besar, ia ketahuan entah dengan cara apa. "Kenapa?" tanyanya menghampiri dan berdiri di sebelah Icha. Ia juga menggaruk rambutnya yang tidak gatal.
"Nikita itu siapa sih?" tanya Icha, tersenyum penuh keramahan.
"Emh.." Bisma mencoba untuk berpikir, mengingat-ingat perihal Nikita yang mungkin saja masih ada, memori yang tersimpan. Tak lupa, ia menggaruk rambutnya dengan pelan sesaat, lagi.
"Niki, lo pasti bisa. Dan gue yakin, Wildan juga suka sama lo." Karin mencoba untuk memberikan semangat kepada Nikita agar segera menembak orang yang ia suka. Mereka berdua sedang berada di tepi lapangan untuk menyaksikan tim basket latihan. Pandangan mata mereka berdua hanya tertuju pada si Pangeran Tampan dari tim basket, yaitu Wildan.
"Gue gugup, Kar," ucap Nikita berdiri gemetaran. Meski teman karibnya, Karin ada di sebelahnya untuk memberi dukungan, tetap saja ia gugup. Bahkan suara degup jantungnya yang cepat pun terdengar memenuhi telinga. Apa mungkin bisa?
"Gue ada di sini. Buruan, gih." Karin mendorong tubuh Nikita ke depan hingga sedikit masuk ke lapangan. Meski begitu, ia masih melihat Nikita yang menoleh ke arahnya. Saat itu juga, ia memberikan anggukan dan mengukir ukiran termanis di bibir.
"Bisa, lo pasti bisa," lirih Nikita. Ia berusaha untuk menyemangati diri sendiri sambil menundukkan kepala dan membenarkan posisi kacamata yang ia pakai. Sesaat, ia mengela napas dan mendongakkan kepala. Ia menggerakkan bola mata, mengikuti pergerakan Wildan.