"Jadi lo yang bunuh Karin?" tanya Damar dengan nada sedikit keras. Ia tak menyangka, orang yang telah menjadi temannya itu bisa berbuat keji. Ia menoleh ke arah Wildan yang tampak diam. Namun ia tahu, ada kemarahan yang tersirat dari raut wajah Wildan.
"Apa maksud lo, Mel?" tanya Wildan seraya menunjukkan foto Karin yang dibubuhi coretan bertuliskan MATI dengan spidol berwarna merah darah. Apa teman sedari kecilnya setega itu?
Wildan bingung harus menyikapi dengan cara apa. Ia berusaha untuk tetap percaya, tapi tak bisa menutup mata pada bukti yang ada. Ditambah lagi, torehan tinta yang penuh kebencian pada Karin di tiap lembar buku harian milik Melisa. Jadi, selama ini...
"Wildan, gue bisa jelasin," ucap Melisa dengan mata berkaca-kaca. Sesekali, terdengar isak tangisnya. Pipinya sudah mulai dibanjiri dengan air mata dan tubuhnya terasa lemas, terduduk di atas lantai. Semua telah terbongkar atas rahasia yang ia simpan selama ini. Ia tak bisa berdalih lagi.
Ya, benar. Melisa sangat membenci dan menginginkan kematian Karin. Kebersamaannya dengan Karin adalah kebohongan belaka. Baginya, Karin merupakan pengacau dalam hubungannya dengan Wildan. Bertahan karena Wildan semata, tapi ia harus mengakui sesuatu.
"Lo mau jelasin apa? Gue pikir, lo itu sahabat terbaik gue." Terlihat sekali, amarah Wildan mulai memuncak. Ia sangat kecewa, benar-benar kecewa. "Tapi ..." Ia menundukkan kepala dan menggelengkan, meredam emosi. "Kenapa?" tanyanya penuh ketegasan.
***
"Pengen es krim," rengek Icha menggoda Bisma yang ada di sebelahnya. Ya, ia ingin mengganggu Bisma yang sedari tadi tak banyak bicara. Dan tanpa sengaja, ia melihat beberapa orang yang nampak menyaksikan suatu tempat. Rasa penasaran tergugah, ia pun mengalihkan pandangan ke pusat perhatian.
"Kenapa?"
"Eh?" Seketika, raut wajah Icha berubah dingin dan datar. Bahkan matanya menandakan suatu keseriusan. Ia sedang memikirkan sesuatu. Sesegera mungkin, ia menghampiri keberadaan sumber suara yang tertangkap oleh telinga. Dan di belakang, Bisma mengikutinya.
"Icha," sebut Wildan saat Icha tiba-tiba berada di dekatnya dengan raut muka yang sulit dimengerti. Selain itu, pandangannya menangkap Icha yang melirik beberapa detik pada buku diary dan satu foto yang ia bawa.
"Hmm?" Icha berdeham dengan nada yang aneh. "Sayang banget." Ia tertawa kecil. "Padahal gue gak ada rencana buat bongkar masalah ini. Tapi ..." Ia tersenyum licik. "Terungkap dengan sendirinya," lanjutnya sambil mendekati dan jongkok di hadapan Melisa. "Sepandai-pandai menyimpan bangkai, suatu saat baunya akan tercium juga." Ia mendekatkan wajahnya ke telinga Melisa. "Ya, kan?" bisiknya kemudian menarik muka sambil tersenyum.