FIRASAT

Rara
Chapter #17

Bekas Bacokan

"Berisik!" Bisma sedikit berteriak di antara perseteruan Damar dan Melisa. Ia sangat terganggu dengan hal itu. Dan benar, ia berhasil membuat mereka diam. Setelah itu, ia melihat ke arah Icha yang perlahan menyungging senyuman kepadanya. Icha, batinnya.

"Kalian bertiga boleh keluar dulu? Ada yang perlu gue bicarain sama Bisma aja." Icha meminta yang lainnya untuk meninggalkan dirinya dan Bisma di dalam UKS, berdua saja. "Tolong ya," pinta Icha tersenyum manis.

"Kalo ada apa-apa, kasih tau gue segera," ucap Wildan hendak mengangkat kaki. Icha mengangguk mantap.

"Makasih ya?" teriak Icha mendapati kawan-kawannya berjalan keluar dan menutup pintu UKS. Kini tinggallah ia dan Bisma di sana, sangat hening.

Hap! Bisma langsung memeluk Icha dalam dekapannya. Ia meletakkan dagu di atas pundak Icha. Ia tak mau kehilangan. "Sorry, gue terlalu egois." Ia makin mempererat pelukan. "Seharusnya gue bisa jagain lo, tapi gue malah ..."

"Emm ..." Icha menggeleng di antara pundak dan kepala Bisma. "Gue gak kenapa-napa, kan?" Icha tertawa kecil, lagi. "Lagi pula, ini salah gue juga karena belum bisa jujur sama lo." Icha membenamkan wajah di dada Bisma dan menghirup aroma tubuh Bisma. Ia bisa merasa sedikit lega.

"Serahkan semuanya ke gue." Bisma melepas rengkuhannya. "Gua yang akan akhiri semua kasus di sekolah ini dan menangkap pelaku." Bisma mengutarakan keinginannya dengan mantap. "Gue gak mau lo celaka lagi."

"Makasih, karena udah khawatir sama gue. Tapi gue gak bisa nyerah gitu aja. Gue janji, gue bakal baik-baik aja." Icha mengedipkan satu matanya.

***

"Akhir-akhir ini, si pelaku gak ada pergerakan sama sekali. Apa mungkin semua ini berakhir? Atau mungkin, dia merencanakan sesuatu?" Wildan menegakkan buku yang sedang ia pinjam. Ia sedang berada di perpustakan bersama kawan-kawan lainnya. Ia dan Bisma duduk mengapit Icha yang berada di tengah. Sedangkan Damar dan Melisa berada di seberang meja, berhadapan.

"Hei," panggil Damar yang mengangkat satu kaki di kursi dengan menekuk lutut. "Apa bakal baik-baik kalo dia di sini?" Ia melirik sinis ke arah gadis yang di sebelahnya. Bukannya dapat respon, ia malah diabaikan begitu saja dengan orang-orang yang di hadapannya, fokus membaca.

"Sa-sa-sakit woy!" Damar mengeluh kesakitan karena Melisa tiba-tiba menjewer kupingnya hingga memerah. Sial. Tak ada yang membelanya, padahal ia sudah berteriak minta tolong. Akhirnya, ia dapat melepas tangan Melisa dari telinga.

"Sssstt," desis Icha, kode diam.

"Apa lagi," gerutu Damar mendengar ponselnya berdering. Niatnya tak mau merespon teleponnya, tapi Icha malah menatap tajam dirinya. Mungkin membuat bising. Dengan ogah-ogahan, ia mengangkat telepon dan mendengarkannya. Ia malah mengecak-ecakkan suara.

"Gua cabut dulu, ada yang gelut di depan kelas," ucap Damar setelah mematikan telepon dan bangun. Ia buru-buru mengambil jas yang tersampir di sandaran kursi, harus pergi secepatnya.

"Huh!" Icha menghembuskan napas lelah lalu menyenderkan punggung pada sandaran kursi. Matanya terasa lelah, sekali. Entah berapa halaman yang telah habis ia baca.

"A! Gue baru inget sama rak yang kebacok itu." Icha menghentikan aktivitas membacanya.

"Yang waktu itu?" tanya Bisma, memastikan.

"Emm." Icha mengangguk.

Lihat selengkapnya