"Di kertas ini, ada satu kata. Apa kalian semua sepemikiran sama gue?" Melisa memperhatikan bungkus plastik itu.
"Pamat," sebut Wildan yang tampak seperti melamun.
"Nah! Kalian bisa liat sendiri, kan? Bukan gue, tapi Pamat pelakunya." Melisa meluapkan seluruh perasaan dengan menggebu-gebu. "Hei, Damar." Melisa mengarahkan pandangan ke Damar yang berada di seberang meja, sedang duduk di atas lantai dan menyender pada rak.
"Kenapa dari tadi lo diem aja?" tanya Melisa menatap murka pada Damar. "Padahal, biasanya lo yang suka mojokin gue di depan anak-anak kalo gue pelakunya?" Melisa melontarkan kekesalan. Dan seketika, suasana berubah hampa.
"Kalo Pamat pelakunya, jadi siapa yang dorong Icha dari belakang sampe jatoh?" Wildan mulai angkat bicara dan saling melirik satu sama lain. Tapi tidak dengan Icha dan Damar yang mematung.
"Em.. anu..." Bisma bingung memilih kata-kata yang ingin ia sampaikan. Ia pun menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Gue rasa, sih ..." Bisma sedikit memiringkan kepala ke kiri. "Gue juga gak terlalu yakin." Bimbang.
"Apa mungkin pelakunya lebih dari satu? Atau justru, Pamat itu cuma suruhan doang? Pelaku sebenarnya malah masih berkeliaran di sekolah ini? Dan lalu apa motifnya?" Bisma masih menerka-nerka.
***
"Bisma, tungguin." Icha kesal karena Bisma berjalan lebih cepat di depan, meninggalkannya. Padahal, hari ini suasana hatinya tak cukup baik. Tapi Bisma malah iseng kepadanya. Ia pun mengerucutkan bibir dan menggembungkan pipi.
"Buruan." Bisma menghentikan langkah dan menyodorkan tangan untuk Icha yang tidak terlalu dekat di belakangnya, mengkode sesuatu.
"Eh?" Tiba-tiba saja, Bisma terpikirkan sesuatu ketika melihat seorang gadis berambut kepang dari arah berlawanan. Siapa lagi jika bukan Nikita. Ia menghembuskan napas dengan berat, sedetik. Ya, harus membuktikan sesuatu.
Melihat Nikita yang baru saja melewati Bisma, Icha makin melebarkan senyuman. Ia memasukkan kedua tangan ke dalam saku jas. Dan jarak Nikita makin dekat dengan posisinya. Namun sayangnya, ia hanya mendapati Nikita yang tak menunjukkan keramahan, dingin. Entahlah.
Puk! Icha menahan Nikita agar berhenti tepat di sampingnya, berpapasan. Ia menepuk bahu depan gadis berkacamata itu dengan satu tangan. Ia masih memandang ke depan, menemukan Damar dan Wildan yang tak jauh dari Bisma. Kemudian, ia menarik tangannya dari bahu Nikita. Meski tak menengok, ia tahu jika Nikita melirik pundak yang sempat ia tepuk. Ia pun tersenyum simpul.