FIRASAT

Rara
Chapter #21

Kepercayaan

"Apa yang mau lo omongin? Sampe lo ngajak gue kesini?" Bisma memasukkan kedua tangan ke dalam kantong celana. Sesekali, ia memperhatikan sekeliling. Lorong yang tidak terlalu ramai, pikirnya.

"Gue heran sama lo. Padahal Icha udah bohongin lo. Tapi lo malah tetep bertahan sama dia." Wildan menempelkan badan ke tembok sambil melipat kedua tangan di depan perut.

Bisma tertawa kecil mendengar pertanyaan Wildan. Lucu saja, pikirnya. "Gue emang sempet ragu sama dia. Tapi pada akhirnya, gue sadar akan satu hal yang gue pahami dari dia." Sekejap, ia melirik Wildan.

"Eh?"

"Dulu Icha pernah bilang ke gue, 'Mungkin aku bakal berubah,' katanya." Bisma tertawa tanpa bersuara, sesaat. "Gak, dia gak berubah. Hanya saja, ia belum menunjukkan yang sebenarnya. Itu yang gue amati selama ini." Ia pun menoleh ke arah Wildan. "Karena itu, gue percaya sama dia," lanjutnya lalu beranjak, meninggalkan Wildan.

***

"Coba dengerin deh." Icha memasangkan earphone ke telinga Bisma. Ia meminta Bisma untuk mendengarkan sebuah lagu.

"Lagunya siapa?" tanya Bisma menyimak alunan melodi yang terdengar lembut di telinganya. "Band lo?" Ia memastikan.

"Yaps!"

"Bagus juga," puji Bisma masih membiarkan kupingnya dipenuhi suara musik yang berucap.

"Makasih." Icha tersenyum. "Akhirnya bisa muji juga."

"Gue gak muji lo, tapi lagunya," ketus Bisma, mengabaikan Icha.

"Hah?" Icha menatap Bisma dengan tatapan mendelik.

Bisma berusaha untuk memaksa bibirnya untuk tersenyum, tak bertahan lama. Ia langsung membuang wajah ke sisi lain dan mengerutkannya hingga tak beraturan. "Serem," lirihnya hampir tak terdengar. Kemudian ia menengok Icha dengan ekspresi biasa saja.

***

"Hmm," deham Icha bersenandung mengawasi beberapa orang dari bawah dari balkon lantai dua di salah satu gedung sekolah. Kedua tangannya berpegangan pada pagar pembatas setinggi dada. Ia teringat akan lagu milik grup musiknya. Bernyanyi.

Senduku ke haluan rasa hancur .

Aku bagaikan rumput liar, tak seindah sang bunga.

Dan akhirnya, lambat laun ku mengerti.

Tiada yang kan menanti.

Meratapi bunga itu?

Mungkin, selamat tinggal.

Apa itu keabadian?

Selamanya kan terkunci.

Dan lena yang mengingkari.

Ukiran manis mencibir.

Tak pernah tersampaikan.

Mengagumi rasa rindu, menyakitkan.

Lihat selengkapnya