"Hah?" Icha mulai tertawa dengan pelan. Namun sedikit demi sedikit, ia menaikkan volume suara dan semakin meninggi, terbahak. Ia belum mengangkat wajah.
"Bukannya lo ..." Icha mendongakkan kepala secara perlahan. "Yang harusnya putus asa?" Icha sedikit memiringkan wajah dan tertawa menyerupai orang gila. Terkadang diselingi desahan yang tidak diketahui sebabnya.
"Eh?" Damar terperangah mendapati perubahan sikap Icha yang drastis dan mencolok. Tanpa sadar, ia mendorong tubuh ke belakang, satu langkah. Ia tak pernah melihat Icha seperti itu sebelumnya.
"Da-mar He-ri-a-wan," eja Icha lalu nyengir kuda. "Tapi, sayangnya video itu sudah kesebar di mana-mana." Suaranya memang begitu lembut tapi terdengar menyeramkan bagi orang yang mendengarnya. Tangannya pun bergerak menyentuh pisau. Mau tak mau, tangannya harus kotor karena cairan merah yang tiada henti merembes dari sela tusukan.
"Hei," panggil Icha dengan jalan yang sedikit gopoh, beberapa langkah. "Apa lo tau ini?" Ia mengangkat satu kantong plastik transparan yang di dalamnya terdapat satu pil obat dan botol yang berisi sedikit cairan bening yang ia ambil dari sakunya. Ekspresinya tak menyiratkan apapun.
"Tau apa lo?" tanya Damar yang berusaha mengontrol emosi. Tidak. Ia begitu kesulitan.
"2 tahun lalu, keluarga lo berantakan, kan? Hanya karena wanita simpanan Ayah lo." Icha tertawa terpingkal-pingkal. "Ah? Kasian banget, sih." Icha tersenyum manis, mengerikan. "Halah? Gimana kalo gue coba nebak lagi?" Icha bertanya dengan nada manja dan auranya makin menggelap. Ia sangat puas, menyaksikan Damar yang mulai keringat dingin.
"Sejak saat itu, Ayah lo lebih milih selingkuhannya dibanding elo dan Ibu lo. Dunia memang kejam ya? Gak lama setelah itu, Ibu lo depresi berat. Sebagai anak, lo harus banting tulang buat bertahan hidup dan kerja di luar jam sekolah." Icha bermain-main dengan nada suara. "Dan pada akhirnya, lo putus asa sama hidup lo." Icha terkekeh, sesaat.
"Lo hebat ya, bisa ngibulin banyak orang tentang obat ini." Icha melirik kantong plastik di tangannya. "Orang lain mungkin gak sadar dengan obat ini, tapi lo gak bisa bohongin gue." Icha tersenyum setengah. "Obat ini ekstasi dan obat bius semprot, kan?"
"Eh?" Mata Damar membeliak.
"Obat bius ini lo pake buat bikin Karin sama Pamat gak sadar, kan? Dan lo gunain ekstasi ini buat pelampiasan lo doang. Karena lo merasa sakit hati, putus asa dan menyerah dalam hidup lo. Sayang sekali." Icha menghela napas dengan berat. "Me-nye-dih-kan," eja Icha sedikit meringis, mengembangkan senyuman.
"Diam lo!" teriak Damar dengan keras. Napasnya sangat tidak beraturan. Kepalanya terasa pening dan pikirannya kacau balau. "Lo gak tau apa-apa tentang gue, jangan sok tau." Damar tak bisa mengatur emosinya yang makin berantakan. Ia kehilangan kendali diri.
"Sok tau?" Icha mendesah. "Jelas gue tau! Gue ngehabisin waktu di sekolah ini hanya untuk hari ini buat ngungkap semua kebusukan lo agar gak ada lagi korban seperti Karin, Reva atau pun Pamat. Gue gak ngira bakal seseru ini." Icha sangat menggebu-gebu dalam perkataannya. Ia meringis, manis. Bukan merasa kesakitan atas lukanya, ia justru malah menikmatinya.