"Jangan dekat-dekat!" Damar masih bergerak mundur. Tatapan matanya begitu kosong dan napas terasa sesak.
Icha masih memperhatikan Damar. Ia juga melihat, tak jauh di belakang Damar ada tanjakan pendek yang menjadi pembatas tepi atap dak beton. Ia hanya tinggal menunggu waktu.
"Ah?" Dan benar, kaki Damar tersandung tanjakan dan...
"Eh?" Dengan matanya sendiri, Icha melihat Damar yang tumbang ke belakang dan hilang dari penglihatannya. Ya, Damar terjatuh dari atap gedung. Ia pun membelalakkan mata lalu menundukkan kepala.
Beberapa saat kemudian, Icha mengangkat wajahnya yang dingin lalu seringai kecil muncul di sudut bibir. Semua telah berakhir, pikirnya. Ia juga menghembuskan nafas dengan berat, sekali. Kemudian, ia mengalihkan pandangan ke pot tanaman pucuk merah yang berada di tepi bangunan dari sebelah kanannya.
***
"Sebenernya kita ngapain, sih?" tanya Bisma yang bersandar pada tembok dan menatap bosan sekeliling.
"Diem!" perintah Nikita yang berdiri di tepi teras seraya mengawasi halaman yang ada di depannya. Ia tak banyak berekspresi.
"Bisma!" panggil seseorang.
"Kalian," sebut Bisma mendapati Wildan dan Melisa dari arah jalur sebelah kiri, yang terlihat ngos-ngosan. Ia tak paham sambil menggaruk rambutnya.
"Icha di mana?" tanya Wildan yang berusaha mengatur napas.
"Icha..."
Bugh!
Seketika, Bisma dan yang lainnya mengoper pandangan ke halaman saat setelah mendengar sesuatu yang menghantam keras, jatuh. Mereka terperangah menyaksikan seorang laki-laki yang terkapar di atas kasur busa yang menutupi tiap bagian tanah. Ya, sebelumnya Bisma dan Nikita yang telah menyiapkan. Tanpa ba bi bu, mereka semua bergegas menghampiri pemuda itu.
"Damar," panggil Wildan yang sudah ada di samping Damar yang tak sadarkan diri. "Mel, cari bantuan," suruhnya lalu menengadahkan kepala untuk melihat ke bagian gedung paling atas, sebentar.
"Darah?" Bisma heran saat mendapati pipi dan tangan Damar yang berdarah. Oleh karena itu, ia memeriksa tubuh Damar dengan cermat. Nihil. Ia tak menemukan luka. Lalu dari manakah asal darah tersebut? Ia memutar otaknya.
"Icha," lirih Bisma hampir tak terdengar. Tiba-tiba, pikirannya langsung dipenuhi dengan Icha. Ya, sedari tadi ia tak bertemu dengan Icha. Ia seperti merasa ada firasat yang buruk. Tak mau membuang waktu, ia bergegas pergi tanpa berpamitan dengan Wildan dan Nikita.
"Oi!" seru Wildan mengetahui Bisma yang lari begitu saja. Ingin sekali untuk menyusul Bisma, tapi ia tak bisa. Karena ia harus mengurus Damar terlebih dahulu. Bahkan segenting ini, Nikita sama sekali tidak membantunya.
*
Merasakan tangan Icha tak lagi di bahu, Nikita menoleh ke bawah pundak depannya. Ia mendapati satu lembar kertas tempel berwarna biru di sana. Ia mencoba untuk melirik ke belakang. Namun, ia langsung mengurungkan niatnya. Dengan tangan kanan, ia mencabut lembaran itu.
"Eh?" Ia dapat melihat torehan tinta yang bertuliskan sebuah pesan. Untuk apa, Icha memberikan itu kepadanya.
*
"Di mana coba," lirih Nikita yang sedang mengedarkan pandangan ke tiap sudut kafe, mencari-cari. Sangat ramai, pikirnya. Hingga sorot matanya menangkap seseorang yang melambai ke arahnya, ia langsung bergegas.