"Semoga Icha baik-baik aja." Melisa harap-harap cemas dengan tangan yang bergetar. Di sebelahnya ada Wildan yang merangkulnya. Seperti dirinya, Wildan juga merasakan hal yang sama.
"Icha pasti kuat," tutur Wildan menenangkan Melisa. Ia sendiri sebenarnya sangat terluka atas insiden yang menimpa Icha. Ia dan Melisa duduk di kursi tunggu yang ada di koridor rumah sakit. Ya, mereka berada di depan ruang operasi. Selain dirinya dan Melisa, ada Bisma yang terduduk di bawah. Ia tahu, jika Bisma yang paling menderita saat ini.
Dengan penampilan yang sudah berantakan dan sebagian seragam yang dipenuhi noda berwarna merah, Bisma hanya diam sambil memegangi sebuah kamera kecil. Jelas sekali dari raut wajahnya jika ia sangat mengkhawatirkan Icha. Ia tak bisa memaafkan dirinya sendiri. Dalam hatinya, tak mau kehilangan Icha. Namun sekarang, ia tak bisa berbuat apa-apa selain berdoa.
"Argh!" teriak Bisma, mengutuk dirinya sendiri.
"Bagaimana keadaan Icha?" tanya seorang laki-laki yang menghampiri Wildan dan Melisa dengan tergesa-gesa dengan muka penuh kecemasan. Dan dari belakangnya, ada Nikita yang berjalan dengan tenang.
"Anda siapa?" tanya Wildan bangun dari duduk. Ia menaruh curiga terhadap pria berpakaian serba hitam itu. "Nik, siapa dia?" Ia menengok ke arah Nikita yang bersikap dingin.
"Ah, sorry. Perkenalkan, gue Nathan, kakaknya Icha. Gue seorang detektif kepolisian."
"Detektif?" Wildan masih tak percaya dengan apa yang ia dengar.
"Ya, mungkin ini akan terasa tiba-tiba buat kalian tentang siapa Icha sebenarnya. Tapi gue harus mengatakan semuanya kepada kalian."
"Eh?"
"Icha datang ke sekolah kalian karena dia punya tujuan. Mungkin dari kalian ada yang sudah tau kalo gue sama Icha itu sepupunya Karin. Merasa ada yang janggal, dia memutuskan untuk mencari bukti tentang firasatnya." Nathan menghela napas, sejenak.