"Hai, Kaori!” sapa Hiro pada Kaori yang sudah duduk di bangkunya. Hiro nangkring di atas meja, menghadap Kaori. “Minggu depan band kita mendapat undangan di Festival Sapporo,” katanya dengan nada bangga.
“Oh, ya? Mereka minta lagu apa?” tanggap Kaori dengan wajah masih terkantukkantuk.
“UVERworld dari Core Pride.”
“Wah, asyik! Mesti digeber latihannya. Jangan sampai band kita tampil melempem, seadanya. Siapa tahu ada pencari bakat gentayangan dan terpesona dengan penampilan kita ....” Air muka Kaori mencerah
“Lalu kita ditawari rekaman,” potong Hiro.
Kaori dan Hiro beradu telapak tangan dengan penuh semangat. Bermusik memang kesenangan obsesif mereka. Sementara itu, rekaman adalah mimpi yang sedang mereka kejar.
“Hei, kalian berdua!” bentakan Mayusensei, guru biologi sekaligus wali kelas mereka, memotong pembicaraan Hiro dan Kaori. “Mau sampai kapan kalian berbincang santai seperti itu? Ini jam pelajaran!”
Hiro terlonjak. Dia buruburu turun dari meja dan berdiri gugup. Sebaliknya, Kaori bersikap santai.
“Oh, Sensei sudah di kelas?” tanya Kaori dengan polosnya.
“Sudah sejak enam belas menit yang lalu,” jawab Mayusensei dengan nada kesal.
“Maaf, Sensei, kami tidak tahu,” ujar Hiro.
“Ya sudah. Kamu ke tempatmu, sana, dan simak pelajaran dengan benar!”
Kaori nyengir saat Hiro bergegas ke bangkunya. Saat mengajar, Mayusensei memang galak. Namun, di luar jam pelajaran, guru berusia 45 tahun itu sebenarnya hangat dan ramah. Dia keras pada prinsip, tapi lembut dalam bertindak.
Mayusensei kembali ke depan kelas. “Hari ini ada seorang teman baru di kelas kita. Semoga kalian bisa menerimanya dengan baik dan dia cepat beradaptasi di kelas ini.” Mayusensei menoleh ke pintu kelas yang berada di sisi kirinya. “Ayana, silakan masuk!” panggilnya.
Ayana Kinoshiri namanya. Tinggi semampai dengan rambut lurus dan panjang. Wajahnya dingin. Tak ada senyum yang dia tebar saat memperkenalkan diri di depan kelas. Tatapan matanya menusuk. Jelas, dia bukan jenis cewek yang ramah dan menyenangkan.
Kelas hening. Penghuninya merasa tak nyaman.
“Ayah Ayana ini manajer di perusahaan terkemuka, lho. Ibunya seorang pelukis terkenal. Hebat, bukan?” Mayusensei mencoba mencairkan suasana.