Hari itu langit begitu cerah, seperti hati Pian yang tak pernah menyangka akan bertemu seseorang yang akan mengubah hidupnya. Di sudut halaman sekolah SMA Harapan Bangsa, Pian duduk sendirian, menatap kosong lapangan yang mulai dipenuhi siswa baru. Hari pertama masa orientasi siswa—momen yang dianggap membosankan oleh sebagian besar siswa, tapi tidak bagi Pian.
Ia adalah siswa yang lebih suka diam, pengamat yang jarang berbicara tapi menyerap banyak hal. Rambutnya rapi, kemeja seragam putih abu-abu tertata sempurna, dan buku catatan selalu ada dalam genggamannya. Ia bukan tipe yang menonjol, tapi bukan pula yang diabaikan. Kehadirannya seperti udara—terasa tapi tak terlihat.
"Kamu sendirian?" suara itu memecah lamunannya. Seperti angin lembut yang datang tiba-tiba, dan sejak saat itu, nama Najwa untuk pertama kalinya terukir dalam pikirannya.
Pian menoleh. Seorang gadis berdiri dengan senyum yang bahkan bisa mencairkan embun pagi. Rambutnya dikuncir dua, wajahnya polos, dan matanya bersinar seperti bintang pagi. Ia mengenakan seragam yang sama, tapi entah mengapa terlihat berbeda. Lebih hidup. Lebih hangat.
"Iya," jawab Pian pelan.
"Aku Najwa. Boleh duduk di sini?"
Pian hanya mengangguk. Ia tak tahu harus bicara apa. Tapi diam-diam, hatinya seperti memahat setiap kata, setiap senyuman gadis itu.