Keringat mengalir di pelipis laki-laki yang napas - senin-kamis itu. napasnya tercekat ia tercekik, matanya dengan liar mencari ke segala arah- Ia harus segera bersembunyi, sebelum Hendra menemukan dan memukulinya tanpa ampun.
Yah, begitulah. Resiko menjadi orang tampan, ia bahkan jika banyak perempuan yang menyukainya.
Mereka seperti kupu-kupu dan aku adalah nektar, itu yang di yakini-Bocah ingusan, dengan raut jenaka dan sedkit tengil miliknya namun, kali ini masalahnya cukup pelik; tuduhan yang tidak pernah sekalipun ia lakukan.
"Ini antara gua balik damai apa bonyok, kagak tau. Yang penting selamat dulu." Rutuk Jedra, ia melewati banyak sarang laba-laba itu menempel di rambutnya.
Menurutnya, tempat paling aman saat ini, gudang tua- di ujung Gedung. Sekolah lama sengaja di kosong, dengan alasan keamanan sekolah.
Suara derit pintu kelas yang tua terdengar nyaring di telinga Jedra, dengan cekatan cowok itu menutup pintu.
Aroma debu samar-sama masuk ke indera penciumannya. Jedra segera menutup pintu itu, perlahan, hidungnya gatal karena debu yang masuk indera penciumannya.
Suara yang sangat familiar samar-samar masuk di indera pendengarannya membuat laki-laki yang masih mengenakan baju biru putih itu membekap mulut dengan kedua tangannya.
mata sehitam jelaga itu, dengan liar mencari tempat persembunyian, ia melihat lemari putih yang sudah usang di ujung gudang kosong yang tidak terkunci itu.
Dengan hati-hati ia letakkan kursi tua untuk menjanggal pintu.
Derap langkah kaki beberapa orang terdengar penuh emosi, seakan mereka ingin memporak-porandakan seisi bangunan tua yang rapuh ini.
Bulu kuduknya merinding, matanya kembali liar mencari tempat persembunyian.
Ia melihat lemari buku yang cukup untuk tubuhnya; sepertinya ini tempat yang aman.
Dengan sisa kekuatan yang ada, ia segera menuju ke dalam lemari dan duduk di dalamnya, pintu lemari ia tutup tidak rapat agar bisa melihat pergerakan Hendra dan antek-anteknya.
***
"BANGSAT! Cepet amat tuh bocah larinya!" Teriak Hendra murka.
"Kalau gak ada gue bos, Karin udah abis ama Jedra bos! culun-culun gitu cabul bos" Kompor cowok dengan badan tambun, dan rambut yang di kuncir keatas, baju yang berantakan menambahkan kesan senioritas yang sudah terletak pada dirinya, Doni Putra Atmaja.
"Makanya gue mau buat perhitungan sama kunyuk satu itu, berlindung di balik nama orang tua ga lucu setan, keluar lo!" maki Hendra.
"AH, KUNYUK. BENCI BANGET, GUA KALAU KETEMU LO, ABIS LO!"
mata Hendra mencari ke segala arah
ia melihat seorang murid yang familiar. "Anindya?" pekiknya perlahan.
Emosinya memuncak, Hendra dan antek-anteknya, berjalan mendekati gadis kutu buku itu. Anindya duduk sambil membaca buku, yang ia bawa dari kelas, memang sudah kebiasaan Anindya untuk suka menyendiri- seperti ini, ia merasa bersosialisasi sangat menguras energinya.
"MANA JEDRA, NIN!" Bentak Doni dengan suara bariton miliknya.
"BANGSAT, JAWAB PUNYA MULUT KAN LU,"
Anidnya menarik napasnya berat, "lu pada pernah di ajarin etika, kagak. Ketemu orang, salam dulu." Tegur, Anindya membuat Hendra meludah tepat di bawa sepatu gadis itu.
"Gede juga nyali lu, mana kunyuk itu." Tanya Hendra tanpa basa-basi, cikung menahan Hendra untuk tidak gegabah. "Jangan, cewek bege."
"Pengecut banget tu cowok, masa nyuruh ceweknya yang maju" Maki Hendra.
ia mencengkram tangan Anindya kuat hingga kuku buku jarinya memutih dan pergelangan tangan Anindya memerah.
"Sakit.. lo apa-apaan sih!"
Sorot mata Hendra mendingin.
"Jawab gue, Dimana Jedra bangsat!" Hendra mengintimidasi Anindya hingga ia ketakutan.
"Gue.. gak tau, lepasin tangan lo tangan gue!"
"Jawab! Cepet" Paksa Hendra.