First place in my heart

Rieldeeqa
Chapter #2

2° Kue sus

sinar matahari memasuki sela-sela jendela kamar Jedra, cahayanya membuat cowok itu terbangun dari tidurnya. Badannya terasa sakit semua akibat penyerangan yang dilakukan oleh Rendra dan antek-anteknya.

Tangan Jedra mengepal kuat saat mengingat kejadian itu, dirinya ingat ada Anindya disana juga dan ikut mencibirnya. Rasa jengkel merayapi hatinya namun, ia ingat tidak mungkin Anindya kesana tanpa alasan yang jelas. Dirinya tau betul kalau gadis itu tidak akan berurusan sama yang namanya kenakalan remaja.

Jedra meraih ponselnya yang berada dimeja nakas dan memperhatikan sekitar, hening. Biasanya jam segini para pelatih gamelan mulai memainkan nada merdu atau sekedar para penari yang sibuk berlenggak-lenggok kesana kemari.

Ia memegang sudut bibirnya yang robek akibat pukulan Hendra, "Aw, sialan." Ia menghebuskan napas dengan gusar, pasalnya ia tau pasti jika Oma mengetahui bahwa dirinya berkelahi lagi dan kali ini dihari kelulusan SMPnya.

"Kalau gua bilang, wajar anak laki-laki kelahi jajan gua bisa dipotong seminggu." Jedra beranjak dari kasur dan memperhatikan wajahnya yang lebam dicermin.

Terlihat sangat menyedihkan, pipi yang lebam kebiruan, dengan sudut bibir yang luka. "Anjir, muka ganteng gua berkurang 0,20%." rutuk Jedra, cowok itu memperhatikan wajahnya yang babak belur.

"Nggak papa sih, tetap ganteng juga kok."

"Gua payah banget, lawan Hendra dan cecunguknya aja gabisa." Rutuk Jedra.

"Kalau gua ketemu anindya, bakalan gua peteng tuh bocah, tapi yang ada gua yang babak belur, orang pegang sabuk hitam karate."

"Gua telpon aja kali yah, mau dengar dia minta maaf hehe." Jedra segera mengetik nomor yang ia hapal diluar kepala, muncul nama Anindya di log panggilan, tangannya tertahan untuk menekan tombol log hijau dan mematikan ponselnya.

"Dih, gengsi banget gua nelpon duluan, dia yang salah." Rutuk Jedra,

Ia memainkan ponselnya, menimbang-nimbang apakah, ia harus menelpon Anindya lebih dulu, padahal ia tau jika gadis itu yang salah, harusnya anindya meminta maaf kepada dirinya tidak menolongnya dari sergapan Hendra dan antek-anteknya.

Dering ponsel hp Jedra, suara ringtone alexandra dari reality club mengalun merdu ditelingannya.

Wallpaper ponsel berwarna kuning dengan campuran pink dengan tulisan, Aku tidak meminta dilahirkan juga memunculkan pop-up. Bodo amat keliatan jamet. Ini jimat keberuntungan. Nama Anindya muncul dilayar.

Dengan malas ia mengambil ponselnya, sudut bibirnya tertarik keatas, menampilkan senyum tipis." Lah, nelpon duluan, panjang umur." Jedra tersenyum kecil, ia segera mengangkat di dering kedua.

"Hallo." Suara tenang, sedikit centil mengalun merdu ditelinga Jedra, membuat Jedra menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Ya, tumben?." Tanya Jedra sedikit merasa euphoria, sepertinya ia merasa anindya pasti bersalah karena tidak menolongnya.

"kenapa?.." Tanya Jedra optimis. Akhirnya gua bisa denger lu minta maaf nin. Pikir jedra.

cewek kepala batu itu sama kerasnya dengan dirinya, menerima permintaan maaf anindya adalah hal yang langka.

Terdengar suara helaan napas, dari sebrang sana. Pasti lu lagi mikir gimana caranya minta maaf ke gua kan. Jedra merapikan rambutnya perlahan, ia merasa lebih ganteng dari biasanya.

"Lu nggak apa-apa kan?"

Jedra mengulum senyum, tersirat ke khawatiran dibalik pertanyaan Anindya. "Nggak kok, Kenapa?" suara jedra memelan, ia bisa merasa jika wajah gadis itu memerah, karena ia tau jika Anindya tidak akan pernah mengangkat telepon.

"Bagus deh, Gua mau bilang bon RS masih sama gua, jangan lupa lu balikin atau gua aduin ke oma"Ancam Anindya, membuat Jedra spontan membuka mulutnya beberapa centimeter, lalu mengusap wajahnya dengan kasar.

Anjir, gua kira mau minta maaf. Rutuk Jedra tanpa suara, ia ternganga dengan permintaan Anindya untuk menganti uang bon Rumah sakit, sebenarnya itu bukan masalah besar baginya tapi, ia sediki kecewa ia kira Anindya merasa sedikit bersalah dengan kejadian kemarin.

Jedra memang sadar jika Anindya bukan orang yang gampang meminta maaf kepada orang lain, harga dirinya sangat tinggi, dan itu yang membuat Jedra tertarik dengan diri anindya. ini cewek diluar jalur BMKG.

Namun, ini sedikit melegakan karena omanya tidak tahu jika ia berkelahi dengan Rendra, fakta yang cukup mengejutkan.

"Tunggu, kok Oma gatau sih?" Tanya Jedra, sembari merapikan selimutnya yang terjatuh dilantai dan melipatnya.

"Lah, lu lupa kemarin kan Oma lu ke jogja ama nyokap gua, mau ada pameran di Museum sekaligus sanggar tarinya kan kepilih buat acara gimana sih lu." cerca Anindya membuat Jedra menepuk Jidatnya. Dirinya lupa. jika omanya hari ini berangkat bersama ayah dan juga Anita, adiknya dirumah pasti hanya ada mang sidik, Mang Asep serta Bi Asih.

Pantas saja sejak pagi hingga sekarang suasannya hening, ia belum mendengarkan suara Anita yang mencoba menganggu tidurnya dengan suara cempreng dan melengking miliknya. Kemungkinan akan lama karena sudah waktunya Anita- Adek Jedra, terapi pemulihan

Suara Anindya dari sebrang telpon membuyarkan lamunan Jedra."Btw, lu udah makan jed?" Tanya anindya dari telpon.

"Sorry, ngelamun gua, baru bangun."

Terdengar suara cekikian dari Anindya dari sebrang sana, dahi Jedra mengerut. Gadis itu, bukan orang yang gampang tertawa dengan hal konyol. "Haha, keliatan kok bengongnya dari sini."

"Buka pintu dong, sepi banget nih di teras, mana serem banget lagi kalau gak ada para pelatih sanggar. Mistisnya dapet." Pinta Anindya membuat alis Jedra ssmakin bertaut.

Saat cowok itu menyibakkan gorden kamarnya, ia mendapati Anindya melambaikan tangan kearahnya dan menenteng 2 totebag berisi bahan makanan.

Lihat selengkapnya