Anindya tersenyum melihat dua hasil mahakarya yang ia buat didapur, kue kering cokelat kacang almond dan dua kotak jajanan khas pinggir jalan, bulat, mungil dan penuh kelapa basah diatasnya-kelepon.
Gadis itu menyeka keringat yang ada dipelipisnya. "Duh, panas banget! Coba rumah gua kayak bank. Pakai Ac Central." Gumamnya sembari cekikian.
"Anak gadis ibu, kayaknya lagi bahagia banget?" Suara pelan, dengan logat Jawa yang masih kental mengalun merdu ditelinga Anindya yang tengah memperbaiki bando putih miliknya.
Maya-Ibu anindya berjalan mendekat dan melihat anindya tengah merapikan penampilannya.
Anindya menampilkan lesung dagu miliknya. "Manis banget anak ibu, kalau eyang Asta-kakek Jedra. Masih hidup mungkin kamu dipingitnya kali." Ujar Maya setengah terkikik geli.
Maya memperhatikan raut muka Anindya yang berubah menjadi masam,"Di- pingit, Ibu ah, nyeremin!" Ujarnya melempar tatapan malas.
"Loh.. beneran? Buat cucunya? Emang kamu gasuka sama Jedra?" Tanya Maya diliputi kerlingan jahil dan suara jenaka miliknya.
"Ish, Ibu... Apaan sih? Jedra bukan tipe aku bu!" Sungut Anindya kesal kini pipi chubby milik gadis itu mengembung.
Maya mencomot satu kelepon yang ada di piring saji, dan memakannya.
"Nanti, Jedra bakalan bilang, manisnya pas nin. Lu jago banget deh, kayaknya hati anak gadis Ibu bakalan berdebar-debar, kedengeran dari jarak 100 km." Ucap Maya sekenanya di iringin candaan jenaka miliknya.
Pipi gadis itu menampilkan semburat kemerahan nampak kontras, Anindya memalingkan wajahnya dan melempar tatapan kesal ke Maya.
"Apaan sih bu!" Ujarnya kesal, Maya tersenyum tipis dan memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan.
"Maaf ya, Ibu cuman bercanda, soalnya keliatanya kayak lagi kasmaran gitu. Habisnya kamu buat kue target pasarnya cucunya eyang Asta mulu."
"Ibu, Nindya buat kue itu bukan karena Nindya naksir Jedra, murni mau hibur dia." Bela Anindya, diiringin dengan senyuman jahil maya dan anggukan kepala wanita paruh baya itu. "Oh ngehibur, ibu kira demen."
"Ibuu!" Teriak kesal Anindya sembari menghentakan kakinya perlahan, ia menghambur ke pelukan Maya. Kebiasaan kecil gadis itu, jika ia kesal atau sedih pasti selalu minta diberikan pelukan.
Maya mengelus kepala Anindya perlahan,"Anin, dengerin Ibu, kamu harus punya batasan kalau soal cucu eyang Asta itu, Ibu gak mau kalau kamu patah hati karena cowok yah."
Anidnya menatap maya lekat, "Ibu, dengerin Anin, selamanya Anin anggap jedra itu kayak adek dan jedra pun anggap Anin kakak dia. Lagipula kalau disuruh suka Jedra, aku bakalan mikir ribuan kali biarpun dia anaknya rano karno atau anaknya Bj. habbie, itu tidak akan pernah terjadi."
Suara ketawa Maya terdengar pelan, wanita itu mengelus kepala Anindya sembari tersenyum jahil.
"Awas nelan ludah." Ujar Maya, tangan mencomot satu kelepon lagi.
"Idih, ogah banget." Pekiknya kesal, ia memajukan bibirnya lima senti.
Suara tawa Maya yang renyah terdengar pelan ditelinga Anindya, ia melepaskan pelukannya dan memasukan kue yang ia buat kedalam totebag kuning dengan motif rubah.
"Ibu, Anin mau ke Rumah sakit dulu, mau ketemu tante lani." Izin anindya mendapatkan pelototan dari Maya.
Maya belum sempat mengiyakan, Anak semata wayangnya itu telah melenggang pergi lewat pintu dapur.
"Semoga saja, kamu masih bisa menyembunyikan apa yang terjadi antara kamu dan Lina, yah nin."
***