Langkah kaki tegap Sembilan perempuan yang mengenakan rok longgar dengan selendang berwarna merah berada dipinggangnya, posisi jemari Ngithing dengan pinggul kesamping kiri dan kanan, gerakan tangan yang mengenggam sampur nampak elok dan syahdu berdampingan dengan suara ghending dipukul selaras dengan ayunan jemari.
Gerakan tubuh menghipnotis mata yang memperhatikannya, wajah para gadis ayu dengan senyuman manis, matahari sudah menampilkan sinarnya dengan eksis namun, belum usai juga latihan tari di pendopo.
Keringat membasahi pelipis para gadis yang nampak kelelahan, suara jatuh yang keras disusul dan napas tersenggal dari salah satu gadis menghentikan alunan gendhing ditabuh oleh para pria.
“Sekar!” teriak salah satu pemukul ghending.
“Oh Rama sedang menolong shinta!” teriak mengelenggar dari kursi singasananya.
Ia turun memperhatikan dua orang sejoli itu, wajah gadis itu nampak pucat dengan mata yang terpenjam erat.
“Bu, hentikan latihan tidak manusiwi ini. Sekar kelelahan.”
Wanita itu menyalang, “Kemenyek, Ibu ngedidik kamu supaya bisa meneruskan sanggar tari Ibu, bukan malah berpacaran.” Laki-laki itu melempar tatapan nanar kepada wanita berkebaya didepannya.
“Ibu tau, sekar bukan penari! Tapi atlet anggar.” Teriak frustasi laki-laki pemukul ghending itu, ia melihat kaki gadis pujaan hatinya memar akibat kelelahan.
“Baskara Aditya Bramastha!” Teriaknya, kerutan wajah wanita yang dipanggil Baskara, ibu nampak tegang, bibir berlapiskan lipstick merah itu nampak naik keatas, dan kipas ditangannya tertutup rapat.
Ini pertanda jika wanita dihadapannya ini sedang naik pitam.
Dengan langkah gemetar, Baskara mengangkat sekar ke dalam gendongannya dan memapahnya sampai di sofa dalam rumah, tidak ia hiraukan suara cacian dan sumpah serapah perempuan yang berkacak pinggang diatas pendopo memintanya untuk kembali kebarisan para penari dan mulai memainkan ghending.
Baskara mengindahkan permintaan ibunya yang ia sekarang butuhkan adalah kesadaran Arlina Sekar Palupi—Istrinya, andai saja istrinya tidak ia ajak melihat latihan sanggar tari dan tetap menetap dirumah, kejadian seperti ini tidak akan mungkin terjadi, ia kenal betul tabiat Arshinta Hanum— wanita yang melahirkannya itu.
Ibunya sangat membenci wanita yang ia persunting ini, karena bukan menikahi wanita penari andalan dan pilihannya.
Bahkan Baskara berbohong jika arlina tengah mengandung anaknya setahun yang lalu, namun kebohongan itu terbongkar.
Mata wanita itu masih terpejam dengan erat, guratan lelah terpeta diwajahnya, ia nampak kelelahan, kegiatan sabtu minggu di sanggar memanglah berat, apalagi untuk Lina.
Dirinya yang tidak mengerti seluk beluk keluarga Bramastha membuatnya harus berlatih dengan keras agar dapat diterima di keluarga itu khususnya, oleh ibu mertuanya.
Wanita itu cukup keras dengan sanggar tari yang ia pimpin dan selalu melakukan kekerasan terhadap para penari namun, selama ini tidak ada yang pernah protes dengan latihan yang ibu mertuanya berikan.
Seperti sekarang, menari empat jam full tanpa minum, adalah suatu kekerasan dan diskriminasi hak terhadap penari, mereka hanya diam dan tetap mengikuti sesi latihan sampai selesai.
Ketika ada yang buka suara dan mengeluh, betapa melelahkannya latihan hari ini maka, ia besok dikeluarkan.
Mertua cukup kolot terhadap perkembangan zaman dan budaya, bagi dirinya menari adalah ungkapan seni jiwa dan jika jiwanya tidak kuat terhadap tekanan artinya tidak mencintai budaya tanah air dan itu adalah mutlak.
Netra lina terbuka, ia mengedarkan pandangannya dan mendapati suaminya menatapnya dengan penuh kekhawatiran.
"Mas... Kok disini nanti ibu marah." Ujar Lina, ia memegang keningnya, kepalanya masih terasa pening.
Baskara hanya mengenggam tangannya, dengan kekuatan yang ia punya Lina segera menepisnya.
“Kamu berlebihan mas, aku loh nggak apa-apa” Ujar Lina, wajah pucat masih terpeta jelas diwajah ayu nya.
“Dek, ibu selama ini kejam yah sama kamu, jawab mas?” Tanya Baskara, wajahnya dipenuhi kalut yang luar biasa.
“Nggak mas, akunya aja yang berlebihan, mungkin capek.” Jawab Lina, ia tidak ingin memperkeruh hubungan laki-laki yang ia cintai ini dengan wanita yang melahirkannya itu.
Walaupun selama ini ada pertentangan terhadap hubungan mereka.
Baskara mengusap wajahnya kasar dan netranya bergetar, ia segera menyambar pakaian dan menutupi dada bidangnya dengan baju yang nampak pas dengan postur tubuh tegapnya dan segera mengendong istrinya ala bridal style dan memasukannya ke dalam mobil.
“Mas, dilihatin orang malu mas!” Teriak Lina, Baskara menampilkan senyum manis dan sedikit terkekeh lalu masuk ke dalam mobil dan melaju meninggalkan perkarangan rumah besar Bramastha, ia tidak tenang jika tidak mengetahui dengan pasti kondisi istrinya.
“Dek, mas bakalan jual dunia ini kalau kamu kenapa-napa.” Ujar Baskara sembari melajukan mobilnya menuju ke rumah sakit.
Hasil pemeriksaan telah keluar, Baskara melempar senyum sumringah mendengar penjelasan dokter ada yang didalam ruangan, ia tak hentinya mengelus perut Lina sembari mengumamkan syukur.