Jedra memukul saron dengan suara perlahan, ia tersenyum kecil saat nada yang ia cari telah sesuai. Berbekal buku harian milik Bunda, dirinya jadi mengetahui bahwa ibunya selama ini sangat mencintai Ayahnya dan ayahnya bukan orang seseram itu, kehadirannya semalam membuat Jedra yakin bahwa ia memiliki satu langkah untuk dapat dekat dengan Ayahnya.
“Itu jarinya yang bener nyempurit nya … senyumnya mana ekspresinya, satu, dua tiga, melek sambil senyum.” Suara Hanum, mengelengar memenuhi pendopo.
Jedra memperhatikan gadis yang berpeluh itu nampak kelelahan, “Istrahat dulu nduk! Kamu kayak mayat hidup oma lihat…” Pinta Oma, wanita itu berjalan mendekati Jedra.
Baju kebaya berwarna biru tua dengan lipstick berwarna merah pekat, melempar tatapan sayu namun dalam kearah Jedra.
“Permainanmu cukup bagus … ingat didalam jiwa kamu lahir pencentus budaya, kita ini harus mencintai Budaya kita.” Tegas Oma, sepertinya hati wanita itu riang gembira.
Latihan kali ini tidak terlalu ketat seperti biasanya.
Aroma melati yang menusuk hidung mengelilingi Jedra, laki-laki itu menatap oma dengan tatapan sedikit sebal, pasalnya wanita tua itu senang sekali mengunakan wewangian yang dapat merusak indera penciumannya.
"Oh... Oma lupa, Ayahmu sudah transfer, uang jajan kamu Oma simpan di rekening yang biasanya yah.” Ujar Hanum kemudian, dan beranjak meninggalkan Jedra yang tengah beristirahat di samping pendopo.
Jedra mengusap keningnya perlahan, keringat membasahi tubuhnya. Cuaca hari ini sangat panas, dan ia ingin sesuatu yang manis untuk menyegarkan tenggorokannya.
“Kayaknya dikantong ada lima ribu deh, mayan buat beli es cekek” Ujarnya sembari merogoh kantong.
Jedra memperhatikan sekitar, ia merasa ada seseorang yang tengah memanggilnya, semak-semak rimbun dibelakang pendopo sedikit berbahaya bagi anak-anak sanggar tari.
“Kayaknya terlalu rimbun de-“ Belum sempat ia meneruskan ucapannya, suara seseorang membuyarkan perhatiannya.
“Woy, cowok gamelan!” Teriak seseorang dari balik semak-semak, Jedra mengendarkan pandangan kearah semak-semak.
Ia mendapati seorang gadis yang snagat ia kenal membawa dua totebag besar, berisi beberapa toples yang tidak terlihat isinya dari balik totebag.
“Nin.. lu ngapain sembunyi disitu kayak kecoa aja.” Ejek Jedra, gadis itu datang dengan celana levis kodok dan baju putih sebahu, ia membawa totebag makanan berisi camilan yang baru saja ia buat.
“Bilang lagi coba. Gua siram pakai gula merah lu, gua sembunyi-sembunyikan oma lu gasuka kalau ada orang ganggu latihan anak-anak sanggar.”
Anindya melemparkan tatapan penuh percaya diri, “Gua baru belajar bikin jenang sum-sum sama adek gua … lu cobain yah! Bagiin sama anak-anak yang latihan di pendopo juga.” Pinta Anindya, Jedra mengangguk pasti.
“Sejak kapan lu punya adek … setau gua gaada sih, tapi yaudah titip salam buat adek lu ya!” Ujar Jedra sembari memperhatikan isi toples jenang sum-sum yang lengkap dengan jenang gereundul dan Mutiara sagu.
“Ini keknya seger kalau dikasih es … lu ga mampir?” Tanya Jedra, Anindya mengeleng pelan.
“ Nggak kasihan adek gua nungguin … gua balik yak! Di abisin.”
Jedra mengedarkan pandangan sekitar, ia membiarkan Anindya pergi begitu saja dan menaruh Jenang sum-sum itu diatas meja.
Hal ini menyita perhatian seluruh anak-anak pendopo, mereka membawa gelas masing-masing dan menikmati bubur buatan Anindya, alis Jedra bertaut ia mengingat rasa bubur jenang yang pas ini mirip dengan buatan Andre,
“ Jadi nostalgia gua … dimana pun Andre berada, semoga dia baik-baik aja.” Ujar Jedra sembari menghabiskan bubur jenang dengan lahap.
****
Anindya masuk ke dalam mobil, ia melihat sammie tengah memainkan ponsel baru miliknya, “Gimana kak?” Tanya Sammie, wajahnya penuh keingintahuan yang mendalam.
Anindya mengacungkan dua jempolnya, “Aman, aku langsung pergi pas ngasih kayaknya dia ga ngikutin…” Jelas Anindya, diringin anggukan dan helaan napas lega dari sammie.
“Aku rasa… kayaknya dia bakalan nostalgia deh kak,” Timpal sammie, ia memasukan ponselnya ke dalam saku celananya, alis Anindya bertaut.
“Maksud kamu … kalian, eh nggak … kamu, sama alm. Iqbal sering bikin ini?” Tanya Anindya hati-hati, sammie memperbaiki posisi duduknya, ia bersandar dan melempar tatapan keluar jendela, ia menerawang jauh.
“Aku, sama Jedra sering bikin jenang sum-sum kalau Iqbal merajuk, kakak pernah ingat ga pas aku bilang, Jedra baru pertama kali makan keong sawah. Sebelum itu ada kejadian … Abinya Iqbal tiba-tiba dapat pinjaman gede banget dari rentenir. Ternyata Abinya gadaikan sertifikat rumah, Abangnya Iqbal murka dan ngehajar sampe bonyok muka Abinya … empat bulan kemudian, abangnya kabur katanya ga sanggup bayar utang lintah darat.” Ujar Sammie, ia menerawang jauh sembari mobil bergerak perlahan dan berhenti di lampu merah.
Anindya menahan napasnya, ia melempar tatapan prihatin ke arah Sammie dan menarik senyum tipis, ia mengenggam bahu Sammie perlahan.
“ dan … buat ngebujuk biar Iqbal mau makan lagi, dengan cara buatin jenang, tangan Jedra sampai melepuh, jujur … aku masih nggak bisa terima kepergiaan Iqbal.” Lanjut Sammie dengan frustasi.
“Kamu sekarang adek aku… kamu inget kata aku kan, semua orang nunggu giliran mati, memang kita semua ngerasa sepi dan nggak akan bisa terima orang yang kita meninggalkan kita itu pergi selamanya, yang pergi cuman satu orang tapi rasanya kayak jiwa kita ikut diambil.” Jelas Anindya, netranya bergetar.
“yang mesti kita lakuin adalah, berdoa dan berharap kita berguna buat orang lain.” Jelas Anindya, ia mengelus pundak sammie perlahan dan memeluknya, “Gak apa-apa, cowok boleh nangis kok! Nangis aja tapi jangan kehilangan harapan hidup.”
Mobil kembali melaju memasuki perkarangan rumah megah milik keluarga Diharjo, tatapan sammie sulit diartikan, ini sudah saatnya dirinya untuk menjadi bagian dari keluarga Anindya dan ia memang pantas untuk mendapatkan itu semua.