First place in my heart

Rieldeeqa
Chapter #9

9. kebohongan kecil

Thommy menyuruhku untuk aborsi anak kami… Thommy Pratama Bramastha adalah pria yang menakutkan.

Baskara mengambil mengantikan dirinya meskipun tau konsekuensi itu.” Jedra mengulangi ucapan yang sama didalam buku harian itu, tangan kanannya bergetar menahan rasa sakit yang ada ditelapak tangannya. .

Ia menerawang jauh kearah luar jendela, awan kelam bergemuruh, suara petir terdengar pelan, bagai cambuk ditelinga Jedra, netranya bergetarm lidahnya kelu. Fakta ini cukup, mengejutkan dirinya.

Ia menghembuskan napas perlahan, menenangkan pikirannya yang berkecamu, fokusnya terpecah, “Gua bener-bener ga ngerti …” manik matanya tertuju pada figura yang ada diatas meja, wanita anggun dengan kebaya putih dan bersanggul mengandeng dirinya dan memangku gadis kecil yang tersenyum lebar menatap kamera.

“Bunda nggak mungkin bohong kan, dan buku harian ini pasti palsu.” Ujarnya optimis, ia tidak bisa percaya siapapun lagi sekarang. Kepalanya dipenuhi kepingan puzzle yang sulit untuk terjawab, menghilangnya Bunda membuat tanda tanya besar dalam benaknya.

Apakah mengetahui kemana perginya wanita yang melahirkannya dan semua rahasia ini adalah benar. Pikirnya.

Ia menarik selimut hingga se-dada dan memejamkan matanya perlahan, begitu sampai di rumah, pak Richard; dokter pribadi keluarga datang dan menjahit telapak tangannya tanpa bertanya apapun, entah apa yang dipikirkan pria separuh abad itu.

Jedra bahkan bingung mewarisi sifat mudah meledak ini dari siapa, dirinya berusaha keras untuk menahan amarahnya.

“Kayaknya …. Gua harus tidur,” Yakinnya kemudian, dan memejamkan matanya.

Matahari sudah menghilang dari pandangan, hanya menyisakan gorden yang dan jendela yang belum ditutup.

Pintu kamar Jedra terbuka dengan perlahan, Baskara masuk ke kamar putra semata wayangnya dan berjalan mendekat kearahnya yang tertidur pulas, dengan sisa airmata terpeta dengan jelas.

Baskara merapikan selimut Jedra, sekilas ia melihat telapak tangan kanan putranya yang terluka.

Helaan napas terdengar berat, Baskara mengelus puncak kepala Jedra, netranya bergetar. Sesak, dadanya dipenuh dengan kalut yang tidak bisa dirinya jelaskan dengan kata-kata.

Baskara bangun dari duduknya Ia berjalan perlahan menuju jendela dan menutupnya, ia sempat melirik jam yang berada tidak jauh dari meja belajar, sudah larut malam, mungkin anak sulungnya tertidur sejak ia pulang dari kantor kejaksaan yang sekarang ia pimpin.

Ternyata ia pulang cukup larut dan masih harus menyelesaikan beberapa dokumen sebelum balik ke rumah. Kerja di kejaksaan cukup berat namun, disini ia di gaji sangat besar dan bisa mencukupi kedua anak dan membayar perawatan Lina.

Selama wanita yang ia cintai itu masih ada didalam rumah sakit dan belum menemukan pendonor mata, ia harus berpikir beribu kali dan menghemat pengeluaran.

Sepuluh tahun lamanya ia menyembunyikan rahasia, jika istrinya masih hidup dari kedua anaknya merupakan hal yang tidak akan termaafkan. Ia selalu siap dengan konsekuensi dibenci oleh putra kebanggaannya itu.

“Sedikit lagi, Ayah bakalan buat hidup kalian semua tenang tanpa ancaman apapun.” Ujar Baskara, mengenggam tangan Jedra dan memasukanya ke dalam selimut.

“Maaf jika ayah selalu bersikap kasar, tapi kamu tetap anak kesayangan Ayah. Kamu kuat sejauh ini, Ayah bangga sama kamu” Lanjutnya sembari mencium puncak kepala putra semata wayangnya itu. Suara pintu kamar tertutup, Jedra mendengar semuanya, airmatanya mengalir membasahi bantal yang ia kenakan.

Lihat selengkapnya