Cole berjalan menyusuri koridor sekolah, menghindari ninja, nenek sihir, bajak laut, dan pengantin zombie. Langkahnya terhenti saat seorang badut berwajah murung, yang mengenakan jaket panjang dan topi fedora, melambai ke arahnya. “Dalton?” Sahabatnya itu mengangguk dan tersenyum, tampak aneh karena mulutnya dicat agar terlihat cemberut. “Kukira kau tak bakal mengenaliku.” “Memang sulit mengenalimu,” jawab Cole, lega melihat sahabat karibnya memakai kostum lengkap. Cole sendiri khawatir kostumnya berlebihan. Mereka berjumpa di tengah koridor. Anak-anak berlalu-lalang di sekitar mereka. Ada yang berkostum Halloween, ada juga yang tidak. “Siap berburu permen malam ini?” tanya Dalton. Cole ragu. Mereka kini duduk di kelas enam, Cole agak cemas orang akan menganggap mereka terlalu tua untuk berkeliling mengumpulkan permen dari rumah ke rumah. Dia tidak ingin terlihat seperti anak TK. “Kau sudah tahu tentang rumah angker di Wilson Street?” “Rumah hantu yang letaknya di gang?” Dalton memastikan. “Kudengar di sana banyak tikus dan ular sungguhan.”
Cole mengangguk. “Kabarnya penghuni baru rumah itu ahli efek khusus. Mungkin dia pernah terlibat dalam pembuatan film-film besar. Siapa tahu ini cuma sensasi, tapi semua orang bilang rumah itu keren. Yuk, kita ke sana.”
“Yeah, boleh, aku penasaran,” ujar Dalton. “Tapi, aku tetap ingin mengumpulkan permen.”
Cole berpikir sejenak. Tahun lalu, dia toh melihat beberapa anak kelas enam berkeliling perumahan untuk bermain trick or treat. Bahkan, ada beberapa anak yang terlihat lebih tua. Lagi pula, apa pentingnya pendapat orang-orang? Selama mereka membagikan permen gratis, mengapa kesempatan itu harus dilewatkan? Dia dan Dalton pun sudah memakai kostum. “Oke. Kita bisa berkeliling lebih awal.”
“Setuju.”
Terdengar dering bel pertama. Pelajaran akan segera dimulai. “Sampai jumpa,” kata Cole.
“Dah.”
Cole berjalan ke ruang kelasnya, mendapati Jenna Hunt sudah duduk di bangku. Cole berusaha tak acuh. Dia menyukai Jenna, tetapi bukan naksir. Memang, dulu Cole sering merasa gembira dan takut setiap kali Jenna berada di dekatnya, tapi kini Jenna hanya teman biasa.
Setidaknya, itu yang Cole ucapkan berkali-kali dalam hati seraya berusaha duduk di bangkunya sendiri, di belakang Jenna. Cole memakai kostum boneka jerami yang sudah digunakan untuk latihan membidik. Dia sulit untuk duduk karena batang-batang panah berbulu yang mencuat dari dada dan sisi badannya.
Pernahkah Cole jatuh cinta pada Jenna? Mungkin, sewaktu masih kecil. Di kelas dua, ada masanya anak-anak perempuan senang berlarian pada jam istirahat, mencoba mencium anakanak laki-laki. Menjijikkan. Mirip permainan kejar-kejaran, bedanya, anak perempuan menularkan semacam kutu. Para guru tak menyukai permainan itu. Cole juga tidak—kecuali bila Jenna bermain. Saat Jenna mengejarnya, separuh diri Cole diam-diam ingin tertangkap.
Bukan salah Cole jika dia selalu memperhatikan Jenna di kelas tiga, empat, dan lima. Jenna luar biasa cantik. Cole bukan satu-satunya yang berpendapat seperti itu. Jenna pernah menjadi model dalam beberapa katalog. Rambut hitamnya bergelombang indah, dan bulu mata yang tebal membuat matanya tampak dirias meski Jenna tak sedang memakai riasan.
Terkadang, Cole berkhayal Jenna diganggu oleh kakak-kakak kelas yang usil. Dalam imajinasinya, dia muncul sebagai penyelamat yang gagah perkasa dengan beberapa jurus karate seperti di film-film laga. Setelah itu, Cole menerima dengan enggan ungkapan terima kasih Jenna yang berkaca-kaca.
Tapi, semua berubah pada awal kelas enam. Selain sekelas dengan Jenna, karena suatu kebetulan murni, Cole mendapat bangku tepat di belakang gadis itu. Mereka pernah bekerja sama dalam beberapa tugas kelompok. Cole sudah tahu cara bersikap santai di dekat Jenna, mereka pun sering mengobrol dan bergurau. Jenna rupanya lebih keren daripada yang selama ini Cole bayangkan. Mereka sungguh-sungguh berteman. Karena itu, hati Cole tak lagi berdebar meski Jenna berdandan bagai Cleopatra.
Selembar kertas ujian yang telah dinilai tergolek di meja Cole. Angka 96 berlingkar yang ditulis dengan tinta merah menjadi bukti keberhasilannya. Kertas-kertas ujian juga ada di bangku kosong lainnya. Cole menahan diri untuk tidak mengintip nilai teman-temannya, tapi dia tak sengaja melihat beberapa teman di dekatnya mendapat nilai 72 dan 88.
Jenna berbalik menatap Cole. Gadis itu memakai wig hitam halus dengan poni selurus penggaris. Matanya terlihat mencolok oleh riasan yang dramatis. Dia memakai mahkota lingkaran emas berkepala ular di bagian depan. “Kau sedang jadi apa?” tanya Jenna. “Boneka jerami yang sudah mati?”
“Hampir benar,” jawab Cole. “Aku boneka jerami korban latihan memanah.”
“Itu panah sungguhan?”
“Ya, tapi ujungnya sudah kupotong. Hari Halloween atau bukan, bisa-bisa aku diusir dari sekolah kalau membawa panah yang tajam.”
“Lagi-lagi nilai ujianmu bagus. Kupikir boneka jerami tak punya otak.”
“Kemarin, kan, aku belum jadi boneka jerami. Aku suka kostummu.”
“Kau tahu siapa aku?”
Cole mengernyit, seolah-olah Jenna membuatnya bingung. “Hantu?”
Jenna memutar bola matanya. “Kau pasti tahu!”
Cole mengangguk. “Kau salah seorang wanita paling terkenal dalam sejarah. Ratu Elizabeth.”
“Salah negara.”
“Aku bercanda. Cleopatra.”
“Masih salah. Kau serius menebak tidak, sih?”
“Masa? Aku yakin, kok.”
“Aku saudara kembarnya Cleopatra.”
“Oke, kau menang.”
“Mungkin seharusnya aku memakai kostum Dorothy yang terkena banyak panah,” kata Jenna. “Jadi kita serasi.”
“Kita akan jadi akhir cerita Penyihir dari Oz yang lebih menyedihkan.”
“Di akhir cerita itu, penyihirnya ternyata Robin Hood.”
Laini Palmer duduk di bangku sebelah Jenna. Dia berkostum patung Liberty. Jenna berbalik dan mengobrol dengannya.
Cole melirik jam dinding. Masih tersisa beberapa menit sebelum pelajaran dimulai. Jenna punya kebiasaan datang ke kelas pada bel pertama, dan Cole pun kebetulan menerapkan kebiasaan yang sama. Anak-anak lain mulai berdatangan: zombie, peri pengisap darah, musisi rock, tentara. Kevin Murdock tidak memakai kostum. Sheila Jones juga tidak.
Ketika Jenna selesai mengobrol dengan Laini, Cole menepuk bahunya. “Sudah dengar tentang rumah angker yang baru?”
“Yang di Wilson Street?” Jenna bertanya. “Banyak orang membicarakan rumah itu. Aku tak begitu takut pada dekorasi Halloween. Aku sudah tahu semuanya palsu.”
“Katanya penghuni baru rumah itu ahli efek film-film Hollywood,” tanggap Cole. “Kudengar sebagian isi rumah itu benda-benda sungguhan. Ada kelelawar dan tarantula hidup, dan potongan-potongan tubuh manusia dari rumah sakit.”
“Mengerikan juga ya,” Jenna mengakui. “Aku baru mau percaya kalau sudah melihat sendiri.”
“Masuk ke sana tidak perlu bayar. Kau akan bermain trick or treat?”
“Ya, dengan Lacie dan Sarah. Kamu?”
“Rencananya aku akan berkeliling dengan Dalton.” Cole lega mendengar Jenna akan berburu permen juga.