Cole mengikuti Jenna ke ruang bawah tanah yang gelap itu. Tidak jauh dari kaki tangga yang berderit-derit, tirai hitam menjuntai dari langit-langit hingga lantai di semua sisi, menutupi sebagian besar ruangan. Satu-satunya cahaya berasal dari sebuah lentera tua di atas bangku pendek. Lentera itu usang dan berkarat, bagai benda peninggalan sejarah zaman koboi lama. Dalton menarik lengan baju Cole. Bayang-bayang dramatis jatuh di wajah Dalton, membuat riasan badut cemberutnya tampak menyeramkan. Gambar air mata di salah satu pipi Dalton berkilau, bubuk kilapnya nyaris tak memantulkan cahaya lentera. “Orang itu mengunci pintu,” bisik Dalton. Dialah anak terakhir yang menuruni tangga. “Apa?” “Orang berkaus Boo. Sewaktu dia menutup pintu, aku mendengar bunyi klik, jadi aku memeriksanya. Kita terkunci di bawah sini.” Seraya mendesah, Cole melirik ke atas tangga. “Mungkin dia sengaja melakukan itu untuk menambah ketegangan.” “Aku tak suka ini,” Dalton bersikeras.
Cole bersahabat dengan Dalton sejak pindah dari Boise ke Mesa, Arizona, ketika dia duduk di kelas satu. Mereka menyukai banyak buku dan video game yang sama. Keduanya bermain sepak bola dan gemar bersepeda. Tetapi Dalton mudah sekali tertekan.
Cole ingat suatu ketika di bioskop, saat potongan karcis Dalton tercecer di toilet sebelum film dimulai. Dalton tidak hen-ti-hentinya cemas, sebab satpam bioskop akan menangkapnya jika dia kedapatan tidak memegang karcis, lalu menuduhnya sebagai penonton gelap. Akhirnya, Dalton pergi untuk mengaku pada petugas bioskop bahwa potongan karcisnya hilang. Tentu saja si petugas berkata pada Dalton bahwa itu tidak masalah.
“Itu cuma untuk menambah kesan,” Cole meyakinkan sahabatnya. “Mereka ingin tempat ini lebih menakutkan.”
Dalton menggeleng. “Dia melakukannya diam-diam. Hampir saja aku tak mendengarnya. Kesan apa yang mau ditimbulkan kalau tidak ada yang mendengar?”
“Kau mendengarnya. Kau memeriksa. Kau ketakutan. Sepertinya mereka memang ahli.”
“Atau pembunuh berdarah dingin.”
Lima anak lainnya berjalan-jalan di sekitar kaki tangga. Blake membungkuk untuk mengamati lentera. Dia menjauhi cahaya lalu menarik salah satu tirai hitam. “Lewat sini.”
Ketika Blake menyibakkan tirai, tampaklah sesosok pria berbadan besar. Sinar lentera terpantul pada permukaan kepalanya yang nyaris botak dan berhias jumbai-jumbai rambut kasar di pinggirannya. Kumis bengkok mirip gagang pintu terbentang di bawah hidung lebarnya yang pesek. Tulang rawan menyembul dari sebelah daun telinganya. Celana montir yang dipakainya sepertinya bikinan sendiri, dari kain kasar yang dijahit asalasalan. Bahunya yang telanjang dan kekar ditumbuhi rambutrambut keriting.
Sebagian besar anak-anak itu terlonjak dan mundur. Lacie menjerit. Si pria kekar menyeringai melihat reaksi mereka. Dari seluruh giginya, dua tampak terbuat dari logam kelabu kusam.
“Siap untuk ditakut-takuti?” dia bertanya, tatapannya berapi-api. Samar terdengar aksen Selatan yang sengau saat dia berbicara. Dia menggosok-gosokkan kedua tangannya yang gempal.
Cole mengerling Dalton. Mungkin sahabatnya memang benar. Cole tidak suka terkunci di dalam sini dengan pria aneh itu.
“Anda siapa?” tanya Jenna.
“Aku?” jawab si pria, menyipit ke arah Jenna. “Kalian datang kemari untuk ditakut-takuti, benar, kan?”
“Benar,” kata Blake.
Pria asing berbadan besar itu melempar tatapan mencibir. “Aku akan pastikan kalian mendapatkan apa yang kalian cari. Akan kubawa kalian berkeliling, jaga tingkah laku kalian. Kalian tidak boleh menyentuh apa pun.”
Dalton merapat ke Cole. Jenna dan Chelsea berpegangan tangan.
“Mereka memanggilku Ham,” kata pria itu seraya memungut lentera. Tubuhnya berbau debu dan keringat. “Malam ini, aku akan memandu kalian menghadapi teror yang tidak pernah kalian alami sebelumnya. Kalian yakin ingin melanjutkan?”
“Pintunya terkunci,” ungkap Dalton pelan, dagunya dia kedikkan ke arah tangga.
Ham memelototi Dalton. “Kalau begitu, lebih baik kalian tetap bersamaku.” Pria kekar itu menyingkap tirai. Blake memimpin jalan ke dalam. Cole dan Dalton berada di paling belakang.
Cole salah satu anak terpendek di kelasnya, Dalton pun demikian. Tinggi mereka tak sampai sebatas dada Ham. Setelah mereka semua masuk, Ham menggerai kembali tirai itu.
Ruangan berikutnya dikelilingi lebih banyak lagi tirai gelap. Tulang-tulang berserakan di lantai, sebagian agak menguning, sebagian retak atau pecah. Kerangka manusia bercampur-baur dengan kerangka hewan yang aneh. Di satu sisi ruangan, ada tengkorak sebesar keranjang dorong dengan sepasang gading tebal yang remuk. Tidak mungkin itu sungguhan. Tengkorak raksasa itu tidak sesuai dengan hewan mana pun yang dibayangkan Cole, bahkan hewan prasejarah sekali pun, namun tengkorak itu terlihat seasli tulang-tulang lainnya. Mungkin berarti semua tulang-tulang itu palsu.
Blake memungut sesuatu yang tampak seperti tulang lengan. “Rasanya seperti tulang betulan,” ucapnya.
“Betulan seperti dirimu.”
“Lari!” terdengar jeritan seorang anak dari balik tirai sebelah kiri. “Belum terlambat. Cepat lari! Ini bukan—”
Teriakan itu tiba-tiba berhenti.
Ham menyeringai. “Seharusnya kalian tak mendengar itu. Abaikan saja.”
Dalton memandang Cole dengan cemas. Cole harus mengakui, peringatan tadi merupakan bumbu yang bagus. Terdengar seperti sungguhan. Dan sosok Ham meresahkan. Ada sesuatu yang agak salah pada pria itu—sedikit dungu, berbadan besar, bertampang sangar, barangkali sedikit kurang waras. Dia orang yang paling cocok memandu tur uji nyali semacam ini. Mungkinkah dia aktor profesional?
Tirai di ujung ruangan terkuak, dan muncullah seorang wanita pendek berkulit kecokelatan. Dia berbadan tambun dan memiliki kumis halus di atas sudut-sudut bibirnya. Rambut hitamnya yang kusut masai diselingi helai-helai uban. Pakaiannya bagai setumpuk kain lap compang-camping.
“Kelompok terakhir,” wanita itu mengabarkan sambil menatap Ham. “Ansel ingin cepat-cepat pergi.”
“Terserah Ansel saja,” sahut Ham.
Si wanita mengarahkan perhatian kepada para tamunya. “Kalian datang ke sini untuk ditakut-takuti. Tahu apa kalian tentang rasa takut? Tahu apa kalian soal penderitaan? Kalian dari dunia yang gembrot dan lemah, penuh dengan orang-orang gembrot dan lemah yang menghasilkan anak-anak gembrot dan lemah. Dunia macam apa yang membuat hari raya untuk kesuraman? Dunia yang tidak mengenal kesuraman, saat kesuraman sudah menjadi barang langka di sana.”
“Apakah ini akan mirip pelajaran di kelas?” Blake mendesah kecewa.
Si wanita tersenyum. “Kurasa ini akan memberimu pelajaran besar. Kau datang mencari sensasi, Nak, maka sensasilah yang akan kau dapat.”
“Semoga saja,” ujar Blake. “Tulang-tulang ini mengerikan seperti museum.”
“Jika kau punya perasaan, kau akan ketakutan setengah mati oleh tulang-tulang,” tutur wanita itu. “Tulang belulang ini peringatan. Tulang belulang ini tanda mata. Kau datang untuk mengecap rasa takut, maka sepantasnya kau diberi ganjaran. Rasa takut memang tak bisa diukur. Yang mengerikan bagi seseorang belum tentu mengerikan bagi orang lain. Kecoak pemangsa ini, misalnya.”
Wanita itu memperlihatkan seekor kecoak cokelat penuh bercak yang besarnya setara sabun mandi. Kecoak itu mendesis, tubuhnya menggeliat-geliut, kaki-kakinya meronta. Sepasang antena panjangnya berputar-putar dan mengejang. Dalam genggaman tangan, kecoak itu menekukkan kepala untuk menyerang jempol si wanita berkali-kali.
“Lihat bagaimana dia menggigitku?” tanya wanita itu. “Di padang rumput, kau terpaksa mengebalkan diri dari racunnya atau kau akan mati. Siapa di antara kalian yang ingin memegangnya?”
Tak seorang anak pun bersedia.
Si wanita mengangkat bahu. “Bagi kalian, binatang ini mungkin mengerikan. Dan barangkali memang, karena racunnya bisa membuat kulit kalian melepuh dan bernanah, bahkan bisa membunuh kalian. Tapi bagiku, kecoak ini makanan ringan.” Wanita itu memasukkan kecoak ke mulutnya dan mengunyah. Cole mendengar bunyi kriuk-kriuk. Cairan hitam meleleh dari salah satu sudut bibir si wanita. Dia menyekanya dengan punggung tangan hingga tersisa lumuran noda yang samar. Cole melirik Dalton, yang tampak ingin muntah. Lacie dan Sarah memalingkan muka, saling berkomat-kamit panik. Mata wanita itu tertuju pada Blake. “Sudah ketakutan?”
“Sedikit,” Blake mengaku. “Tapi itu lebih pantas disebut menjijikkan daripada menakutkan.”
Si wanita tersenyum tipis. “Kau tak tahu ada apa di balik tirai itu. Kalian semua dalam masalah pelik. Takutkah kalian jika mengetahui waktu kalian di dunia ini sudah habis? Jika kalian takkan bertemu dengan keluarga kalian lagi? Jika semua rencana dan harapan kalian pada masa depan sudah sia-sia begitu kalian menuruni tangga itu?”