Five Kingdom #1

Mizan Publishing
Chapter #3

PERTOLONGAN

Cole bersiap untuk mendarat beberapa meter lagi, tetapi dia terus jatuh di tengah kegelapan, kecepatannya bertambah. Udara berdesir meniupnya. Dengan kecemasan yang meningkat, Cole bersiap menyongsong benturan dahsyat. Hatinya berkata mungkin sebaiknya dia melemaskan tubuh. Apakah orang lain yang turun ke lubang ini semuanya tewas? Apakah dirinya akan bergabung dengan setumpuk mayat? Mungkinkah ada air di bawah sana? Jika memang air, dia akan lebih selamat bila tubuhnya kaku dan mencebur dalam posisi tegak. Kecepatannya masih terus bertambah. Cole melipat kedua lengannya erat-erat di dada. Dalam kecepatan setinggi ini, menyerempet dinding pun bisa berakibat luka parah. Mungkinkah ada kantong udara di dasar lubang? Jika demikian, sebaiknya dia mendarat dengan punggung terlebih dulu. Cole hampir tidak percaya betapa jauhnya dia telah terjatuh! Dia akan mati! Meskipun di dasar sana ada genangan air, tidak seorang pun bisa selamat dari ketinggian semacam ini. Saat menengok ke atas, Cole hanya mendapati kegelapan. Begitu pula saat dia melihat ke bawah. Kecepatannya tak lagi bertambah. Udara yang berdesirlah satu-satunya petunjuk bahwa dia masih terus bergerak. Lalu udara berhenti berdesir, Cole bagai terjatuh dalam kehampaan.

Untuk beberapa saat, dia merasa sangat mual sehingga inderanya yang lain kehilangan kepekaan. Perutnya serasa dijungkir-balikkan. Dia menggertakkan giginya untuk menahan muntah.

Rasa mual itu menghilang secepat munculnya. Cole merasa pening. Ngilu hebat menjalar di tengah-tengah dahinya.

Butuh beberapa waktu bagi Cole untuk menyadari bahwa dia tak lagi terjatuh. Dia tengah terduduk di tanah. Kapan dia mendarat? Ketika samar-samar merasa kedua matanya terpejam, Cole mencelik.

Dia duduk di tengah tanah gersang, dikelilingi dua belas pilar batu yang membentuk lingkaran sempurna. Rumpun semak tumbuh jarang-jarang di sana-sini, seakan-akan tanah itu tidak cukup subur untuk menghidupi rerumputan lebat. Padang bergelombang yang kecokelatan menghampar di segala penjuru. Baik jauh maupun dekat, pohon-pohon terpencil tumbuh tak tertata, bagai sisa hutan yang punah dilanda hama. Matahari telah terbenam, padang sunyi itu bermandi cahaya senja yang temaram.

Para penculik belum pergi jauh. Berlatar cakrawala yang mengilap, mereka tengah menaikkan anak-anak ke kandang yang ditarik kuda. Di depan pemandangan itu, di antara dua pilar, sesosok manusia bertudung berdiri membelakangi Cole, mengamati aksi mereka.

Cole heran dirinya tidak terluka. Jatuh dari ketinggian seperti yang barusan dialaminya bisa meremukkan tulangtulangnya. Rupanya, yang lain pun tidak terluka. Cole dapat melihat si kekar berambut merah dan pria pirang dengan wajah berparut sedang bersusah payah menyeret tengkorak raksasa.

Padang kecokelatan itu terasa asing. Cole tahu tidak satu pun tanah di sekitar kotanya tampak seperti ini. Dia tidak pernah melihat lingkaran pilar-pilar tinggi berwarna kelabu. Cole mendongak. Hanya ada langit. Bagaimana mungkin dia terdampar di padang gersang setelah jatuh ke lubang selokan? Tapi, di sinilah sekarang dia berada. Sesuatu yang aneh sudah terjadi, sesuatu yang tidak dapat dijelaskan.

Sambil menahan napas dan mengendap-endap, Cole lekaslekas berpindah ke samping, hendak bersembunyi di balik salah satu pilar. Saat dia mendekat, Cole melihat tekstur kulit kayu pada pilar itu. Dan seketika itu juga, Cole menyadari pilar-pilar itu merupakan batang pohon yang membatu.

Di sisi luar lingkaran fosil pepohonan itu, Cole duduk bersandar pada salah satu pilar batu. Batang batu itu cukup lebar untuk menyembunyikannya. Jika tidak ada yang datang ke sisi lingkaran sebelah sini, Cole takkan ketahuan. Tapi lantas bagaimana? Bagaimana dia bisa berada di tempat ini? Bagaimanakah caranya kembali ke lubang selokan dan ruang bawah tanah itu?

Sudut mata Cole menangkap sebuah pergerakan. Manusia bertudung dan berjubah muncul. Dia masih memandangi para penculik, tapi dengan jelas dia menyapa Cole. “Kau memang mengherankan.” Suara laki-laki itu terdengar dalam, kata-katanya jernih terucap, nadanya tidak mengancam maupun bersahabat.

“Kumohon, jangan beri tahu mereka kalau aku di sini,” pinta Cole pelan.

“Para pedagang budak selesai mencari mangsa,” kata pria itu, masih tak menatap Cole. “Mereka berkata padaku tidak perlu menunggu orang lain lagi. Jalan segera menutup begitu kau masuk.”

“Jalan apa?” Cole bertanya. “Di mana aku?”

“Jauh dari rumah.” Ada secercah rasa iba dalam ucapan pria itu. “Kau telah menyeberang ke Perbatasan.”

“Perbatasan mana?”

“Itu pertanyaan sulit. Barangkali perbatasan segalanya. Yang pasti, perbatasan dunia yang kau kenal. Ini sebuah dunia antara.”

Pria itu tidak menunjukkan permusuhan. Tetapi, dia pun tidak gentar oleh para penculik itu. Dia berdiri terang-terangan. Cole merasa waswas, tapi dia membutuhkan keterangan. “Bagaimana agar aku bisa pulang?”

“Kau tak bisa pulang. Menemukan Perbatasan adalah hal yang sulit, tapi meninggalkannya jauh lebih sulit.”

“Siapa kau?”

“Aku seorang Penjaga Jalan. Aku membantu mengatur jalan masuk ke Perbatasan.”

“Tidak bisakah kau mengirimku pulang? Juga temantemanku? Orang-orang itu menculik mereka.”

“Aku takkan bisa membuka jalan di sini selama berbulan-bulan ke depan. Kewenanganku di tempat ini sudah habis. Anggota lain dari perhimpunanku bisa melakukannya lebih cepat. Para pedagang budak itu membayar mahal padaku untuk membuka jalan ini.”

“Kau membuka jalan untuk mereka?” sembur Cole, tak kuasa menahan amarahnya.

“Memanen budak dari luar perbatasan bukan sebuah kejahatan,” kata si Penjaga Jalan. “Sudah bukan lagi. Sang Adiraja lima negeri mendukungnya.”

“Bagaimana kalau kau kubayar?” tanya Cole. “Yah, seperti yang dilakukan pedagang budak itu. Bisakah kau membuka jalan untukku?”

“Tidak di tempat ini dalam waktu dekat,” kata si Penjaga Jalan. “Mungkin di tempat lain. Tapi masalahmu lebih rumit daripada sekadar membuka jalan. Sekali kau datang ke Perbatasan, kau pasti akan terseret lagi ke sini. Tarikannya akan jauh lebih kuat apabila kau lahir di sini, tapi sekali kau berkunjung, seluruh jalan cenderung membawamu kembali.”

Cole tidak sanggup memercayai apa yang didengarnya. “Jadi, meski berhasil pulang, aku akan terdampar ke sini lagi?” “Bisa jadi dalam hitungan jam setelah keberangkatanmu.”

“Ini tidak mungkin.”

“Aku maklum akan kebingunganmu. Bersyukurlah kau tidak datang ke sini sebagai budak.” “Mereka mengambil teman-temanku. Aku ingin menolong teman-temanku.”

“Teman-temanmu tak mungkin lagi kau tolong. Mereka sudah direnggut oleh para pedagang budak. Mereka akan diperjual-belikan.”

Lihat selengkapnya