Five Kingdoms #2

Mizan Publishing
Chapter #2

Tanpa Bintang

"Apa artinya itu?” Mira memekik. Cole ikut merasakan kecemasan Mira. Bintang itulah satu-satunya penghubung antara Mira dan saudaranya yang berada dalam bahaya. Mata Mira nanar mengamati bagian langit, tempat bintang itu seharusnya berada. “Bisa berarti banyak hal,” ujar Joe, sengaja menenangkan nada bicaranya. “Mungkin ibumu khawatir ada musuh yang menggunakan bintang itu. Siapa tahu ini berarti saudaramu sudah diselamatkan.” “Tapi, bagaimana kalau artinya ternyata …?” bisik Mira seraya menutup bibir dengan tangan. “Aku yakin tidak seperti itu,” kata Joe. “Jangan sampai kejadian ini melemahkan kita. Aku harus melacak siapa orang yang barusan lari. Kalian pergilah ke Carthage. Ada sebuah air mancur bercerat tujuh di wilayah Elloweer. Kalau aku tidak menyusul kalian dalam perjalanan, carilah aku di air mancur itu setiap tengah hari. Jangan memancing perhatian. Seandainya aku tidak muncul setelah tiga hari, itu artinya aku sudah mati atau tertangkap.” Joe menatap Cole, Jace, dan Twitch. “Jagalah Mira.” Joe berbalik dan mulai berlari menaiki lereng.

Mira terus memandang langit. Saat mengikuti arah tatapannya, Cole melihat banyak bintang. Tapi dia tahu, Mira sangat ingin melihat satu bintang yang tidak berada di sana.

“Jangan diam terlalu lama,” seru Joe sewaktu berlari di lereng bukit. “Kita tak tahu siapa lagi yang sedang menuju kemari.”

“Dia benar,” kata Twitch.

“Bagaimana dengan barang-barang kita?” Jace bertanya sembari menelengkan kepala ke arah kereta yang telah hancur. “Setidaknya, uang kita!”

“Benar juga,” timpal Cole.

“Kalian berdua, ambil semua yang diperlukan,” kata Twitch. “Aku akan membawa Mira bersembunyi. Kami tunggu kalian di jalanan.”

“Ya sudah, sana pergi,” ucap Jace, mengibaskan tangan. “Kau juga, Cole, kalau mau.”

“Aku ikut denganmu,” Cole menjawab Jace, lalu melirik Mira. “Sampai jumpa sebentar lagi.”

Twitch mengangkasa, dan Mira memakai Pedang Loncatnya untuk melambung ke separuh lereng, di seberang lereng yang dipanjat Joe. “Cambuk, ikut,” Mira berseru, dan senjata itu mematuhinya.

Meskipun bahunya nyeri, dan tungkainya yang penuh luka lecet terasa perih, Cole menghampiri kereta. Batu bata yang bisa berjalan itu tergeletak menyamping, tidak terkekang lagi ke badan kereta, dua kakinya patah di bagian paha.

Cole dan Jace sampai di ambang pintu yang sudah terlepas, dan masuk. Bertram tertelungkup, tubuhnya lunglai.

“Apa dia sudah mati?” tanya Jace.

Karena cemas seandainya kata-kata Jace benar, Cole merangkak dan mengguncang bahu si penjaga kereta yang sudah uzur itu. “Kau baik-baik saja, Bertram?”

Pria tua itu bergerak dan mengangkat kepalanya. “Aku sedang berlibur bersama cucu-cucuku.” Dia tersenyum tipis. “Tak ada yang perlu dikhawatirkan.”

Setelah memanjat untuk menjangkau lantai kereta, Jace membuka sebuah pintu kolong, dan beberapa benda berjatuhan. Dia melompat turun, lalu mulai menggeledah benda-benda itu. Di luar, Cole mendengar sayup-sayup aliran sungai.

“Kau bersikap agak aneh tadi,” kata Cole pada Bertram. “Kau menjerit.”

Si pria tua berkedip. “Aku ini tidak muda lagi. Kalian kaum remaja mesti memaklumi bila penyakit kami, para orang tua, kambuh sewaktu-waktu. Aku sedang kurang enak badan. Tapi ini tidak akan merusak liburan kita.”

Jace melompat ke luar. “Kita harus pergi,” ucapnya seraya berbalik meninggalkan kereta.

Cole mengangkat satu jari, menyuruh Jace menunggu. Dia sedang berusaha mengarang pertanyaan yang bisa memancing jawaban Bertram. “Liburan kita terancam masalah. Kereta ini berjalan tak terkendali, lalu bertabrakan. Sekarang, bagaimana kita bisa sampai di Elloweer? Apa yang telah terjadi?”

Bertram terkekeh-kekeh risih. “Kereta ini hanya melakukan tugasnya.”

“Kereta ini hanya mematuhi perintah Mira,” tanggap Cole. “Tidak bisa berjalan dengan cepat. Apa yang terjadi?”

“Kereta ini berjalan sesuai dengan perintah,” ujar Bertram. “Begitu juga diriku.”

“Siapa yang memerintahkannya?” tanya Cole. “Siapa yang mengubah kereta ini?”

Bertram terlihat tenang-tenang saja. “Anak-Anak, kalian terpaksa melanjutkan perjalanan tanpa aku untuk sementara waktu. Kereta ini rusak. Ada baiknya aku beristirahat di sini untuk beberapa saat. Liburan ini membuatku lelah! Setiap kakek punya batas kemampuannya masing-masing.”

“Ayo,” desak Jace. “Aku sudah bawa uang dan sedikit makanan.”

“Dah, Bertram,” ucap Cole. “Terima kasih atas liburan ini.”

Bertram mengangguk. “Kau cucu yang baik.”

Cole pun melangkah keluar dari kereta.

“Kau menangis?” Jace bertanya.

Lihat selengkapnya