Five Kingdoms #2

Mizan Publishing
Chapter #3

Chartage

Memelesat menembus malam, loncatan demi loncatan, Cole menanti kapan Mira kelelahan dan berhenti, tetapi gadis itu terus melaju. Cole tetap berada di belakang, mengawasi Mira. Udara dingin berdesir menerpanya dalam setiap loncatan. Salah satu rembulan bersinar sangat terang malam ini. Rembulan lainnya, sebuah bulan sabit tipis, baru saja terbit. Langit malam di Dunia Perbatasan berubah-ubah tanpa pola. Akibat ketidakteraturan inilah Mira dan saudara-saudaranya dapat ditandai dengan bintang, tanpa ada yang menyadari. Sepuluh atau sebelas rembulan bisa muncul pada malam mana pun, walau Cole belum pernah melihat lebih dari tiga rembulan sekaligus. Banyak di antaranya yang mirip bulan di Bumi, tapi rembulan yang menghiasi malam ini terlihat sedikit lebih kuning. Cole mengamati seluruh bayang-bayang di kaki pepohonan di kedua sisi jalan. Apa pun bisa mengintai mereka dari dalam selubung kegelapan itu. Dia pun melirik ke belakang, bersiap siaga seandainya mendapati sepasukan legiuner atau orang misterius yang menunggangi makhluk compang-camping. Kereta otomatis memberikan sebuah kemewahan, yaitu perlindungan dari dunia luar, membuai mereka dalam ilusi bahwa mereka tersembunyi dan aman. Bagi Cole, itu sesuatu yang menyenangkan, sampai mereka diserang dan akhirnya jatuh ke dasar jurang. Tanpa kereta itu, Cole merasa lebih rentan serangan, namun hal itu justru membuatnya semakin waspada.

Kekhawatiran Mira atas nasib saudaranya, melayangkan pikiran Cole kepada teman-temannya yang hilang. Dia ingat kali terakhir dia melihat Jenna, gadis itu terkurung dalam kandang di atas pedati, masih mengenakan kostum Cleopatra untuk acara Halloween. Kali terakhir Cole melihat sahabat karibnya, Dalton, anak itu memakai kostum badut sedih, bergelimang debu, juga terkurung dalam kandang. Mereka sedang dibawa untuk dijual sebagai budak, tatkala Cole terpilih untuk bergabung dengan para Perompak Langit.

Cole geram membayangkan Jenna mendekam di balik jeruji. Tetapi mungkin Jenna tidak terkurung lagi sekarang. Dia menjadi budak, entah di mana. Apakah dia bekerja di dapur? Apakah dia membawakan makanan untuk teman-teman pemalas sang Adiraja? Pikiran-pikiran itu tidak membuat kegusaran Cole berkurang.

Jenna pintar dan lucu. Dia gadis yang manis dan baik. Tidak sepantasnya dia mengalami nasib seperti ini. Hidupnya direnggut darinya setelah turun ke ruang bawah tanah yang salah pada malam Halloween—dan Cole-lah yang mengusulkan agar mereka mengunjungi rumah hantu itu. Dalton juga anak yang baik hati—sahabat terbaik yang pernah Cole miliki, dan hidupnya pun hancur.

Di manakah mereka malam ini? Di mana puluhan anak lain yang diselundupkan dari Mesa ke Perbatasan? Apakah mereka hidup nyaman? Ataukah menderita? Mereka menyebar di seantero lima negeri. Quima, sang ahli magi, telah memperingatkan bahwa sang Peminda Agung berniat melakukan percobaan atas anak-anak itu, sehubungan dengan daya pemindaan mereka. Anak-anak yang berasal dari luar lima negeri cenderung memiliki kekuatan peminda. Ansel, si Pedagang Budak, menjual semua anak dengan bakat terbesar kepada sang Adiraja.

Melambung-lambung di sepanjang jalan yang disinari rembulan, mau tidak mau, Cole harus percaya bahwa temantemannya baik-baik saja. Dia harus percaya bahwa mereka sedang sibuk mengerjakan tugas-tugas yang lebih aman daripada menjarah istana langit. Cole pernah berencana untuk berkelana seorang diri, dengan satu tujuan, yaitu membebaskan teman-temannya. Tapi jejak mereka telah lenyap. Cole tidak tahu harus mulai mencari dari mana. Jenna, Dalton, dan anak-anak lainnya bisa berada di mana pun.

Cole akan menghadapi kesulitan besar apabila dia mencari mereka seorang diri. Betapa sedikit yang diketahuinya tentang Dunia Perbatasan, dan tidak seorang pun akan membantunya. Jika dia tetap menemani Mira, selain bisa mengandalkan pengetahuan Mira tentang lima negeri, Cole pun bisa bertemu dengan para pemberontak seperti Joe, yang bersedia membantu sang putri yang terasing. Cole mencoba untuk kembali percaya bahwa dengan menolong Mira, sambil menyimak segala sesuatu di sekitarnya dengan cermat, pada akhirnya dia akan menemukan teman-temannya.

Berapa banyak teman yang harus dia temukan? Saat ini, perhatiannya hanya tercurah untuk menyelamatkan Dalton dan Jenna. Lantas bagaimana dengan Lacie dan Sarah, sahabat-sahabat Jenna? Bagaimana dengan Blake? Dengan korban lainnya? Cole memang tidak hafal nama-nama mereka, tapi setidaknya dia mengenali wajah mereka.

Seandainya dia menemukan Dalton dan Jenna, dan mengetahui cara pulang ke Bumi, apakah dia akan meninggalkan anak-anak lain? Sulit menjawabnya. Cole akan memutuskannya nanti, seandainya dia cukup beruntung untuk bisa mengambil sikap.

Lalu bagaimana dengan Mira? Bila Cole bisa pulang ke rumah, apakah dia akan meninggalkan Mira? Gadis itu telah menjadi sahabat sejatinya. Tanpa Mira, mungkin Cole masih bekerja untuk Perompak Langit, dan barangkali, saat ini dia sudah tewas akibat jabatannya sebagai pengintai.

Mira selalu berusaha melarang Cole mencampuri permasalahannya. Tetapi itu malah membuat Cole semakin ingin menolongnya. Tanpa bantuan Cole, mungkin Mira pun tidak sanggup bertahan sejauh ini. Lebih dari satu kali, dia menyelamatkan gadis itu dari bahaya besar.

Teman-teman lain akan menolong Mira seandainya Cole pergi. Jace memang menyebalkan, tapi dia sangat setia kepada Mira. Twitch juga akan membantunya. Dan sebagai anggota pemberontak, sepertinya Joe memegang teguh komitmennya.

Cole melihat Mira meloncat di depannya. Saat ini, tidak ada gunanya memutuskan apakah dia akan meninggalkan gadis itu atau tidak. Begitu tiba waktunya untuk memutuskan, mungkin keadaan akan jauh berbeda. Semoga saja, kelak, Dalton dan Jenna bisa menolongnya dalam memilih jalan.

Akhirnya, Mira menghentikan loncatannya, dan menoleh ke arah Cole. Cole mengarahkan loncatan berikutnya ke sisi Mira, lalu mendarat sambil terhuyung. Twitch terbang mengawang di dekat mereka.

“Kau capek?” tanya Cole.

“Aku sanggup meneruskan,” jawab Mira. “Tapi aku cemas karena Jace belum menyusul kita.”

Cole menoleh ke jalanan di belakang. Jace memang sering membuatnya jengkel, tapi menyedihkan sekali kalau sampai terjadi sesuatu kepadanya. Menyebalkan atau tidak, Jace tetaplah sahabat. Dia orang yang mahir bertarung, dan tahan banting. “Mungkin dia baik-baik saja. Kurasa kita cuma terlalu jauh mendahuluinya.”

“Benar,” Mira setuju. “Pohon-pohonnya semakin jarang.”

Cole mengangguk. Jace tidak akan bisa melontarkan diri dengan bergantung di pepohonan, karena hanya ada tanah lapang penuh semak-semak di kedua sisi jalan. Hal itu akan membuat kecepatannya kian berkurang.

“Kalau selama ini jarak di antara kita semakin lebar,” kata Twitch, “kita akan terpaksa menunggu lama sekali di depan sana.”

“Justru karena itulah kita sebaiknya berhenti sekarang daripada nanti,” kata Mira. “Jangan sampai kita kehilangan Jace. Kalau dia terkena masalah, kita harus mundur.”

“Jika Jace terkena masalah, kita tidak akan mampu menanganinya,” tanggap Cole. “Dengan tali itu, mustahil Jace tertangkap dengan mudah. Kalau dia tidak muncul juga, aku akan mundur. Kau dan Twitch harus terus maju.”

Twitch menyingkir dari jalanan dan masuk ke semak belukar. “Bagaimana kalau kita menunggu di balik semak-semak yang itu?” usulnya. “Kita bisa melihat jalanan, sekaligus bersembunyi jika ada tamu tak diundang.”

“Meloncatlah ke balik semak-semak itu,” Cole menyarankan. “Dengan begitu, tidak ada jejak yang mengarah ke persembunyian kita.”

“Ide bagus,” kata Twitch, melejit ke udara, sayap-sayapnya terlihat samar berkilauan.

Cole dan Mira turut meloncat ke semak-semak. Mira duduk, melipat kedua tungkainya. Dia melipat tangan dan meletakkannya di atas lutut, kepalanya rebah di atas tangan.

“Aku akan berjaga,” Twitch menawarkan diri. “Kami kaum grinaldi punya penglihatan malam yang tajam.”

“Apa, sih, yang tidak bisa kalian lakukan?” tanya Cole.

Twitch mengangkat bahu. “Kaum kami bukan perenang yang baik. Kami menghindar dari kubangan bahaya.”

“Kau lelah?” Cole bertanya pada Mira.

“Kepalaku sakit,” jawab gadis itu. “Tapi tidak mengapa. Masih untung tidak ada peminda jahat yang menyusul kita.”

“Kalian berdua bertarung dengan baik tadi,” kata Twitch. “Pedang Loncat kalian senjata yang ampuh.”

“Senjata kami memang berguna,” kata Cole. “Tapi aku sangat gugup kalau harus memakainya untuk menyerang. Rasanya seperti memakai busur dengan satu anak panah. Dan aku sendiri yang jadi anak panahnya.”

Twitch dan Mira tertawa mendengar penjelasan Cole.

“Omong-omong, terima kasih,” ucap Mira. “Kau menyelamatkan nyawaku lagi. Aku nyaris diterkam monster kucing itu.”

“Itu karena kau menolong Jace,” kata Cole, berusaha menutup-nutupi betapa senang dirinya atas rasa terima kasih Mira. “Jace juga melindungi kita. Tidak usah kita hitung-hitungan.”

“Maaf kalau aku tidak banyak terlibat,” kata Twitch. “Aku melayang-layang di sepanjang pertarungan, menunggu peluang yang tepat untukku. Aku cenderung jadi penyelamat ketimbang penyerang.”

“Aku senang, kok,” kata Cole. “Kau pernah menyelamatkan aku, menyelamatkan Jace juga.”

Twitch tersenyum simpul. “Seperti katamu, tidak usah hitung-hitungan.”

Sesuatu berwarna putih-kelabu melayang turun dan mendarat di samping Mira, disertai beberapa helai bulu gugur. Cole tersentak mundur dan mengacungkan pedangnya, kemudian dia mengenali burung kakatua mini yang diberikan Liam untuk menjadi pengintai mereka.

“Mango!” Mira berseru. Seraya mengulurkan lengan, dibiarkannya burung jelmaan itu bertengger di pergelangan tangannya.

“Mana kereta otomatis kalian?” tanya kakatua mini itu.

“Masa kau tidak lihat?” tanya Mira. “Keretanya terguling masuk jurang.”

“Aku bukan bagian dari kereta itu,” kata si kakatua. “Aku kembali kepada kalian. Seberapa jauh dari sini kejadiannya?”

“Cukup jauh,” kata Mira. “Kami diserang.”

Burung itu bersiul. “Maaf, aku tidak sempat memperingatkan kalian.”

“Hanya pasukan kecil,” kata Mira. “Kau melihat Jace?”

“Tidak,” jawab Mango. “Sebagian besar waktuku kulewatkan di depan sana. Sepertinya jalan dari sini ke Carthage aman. Kita tidak menggunakan jalan raya. Jalan ini tidak langsung mengarah ke sana, dan lebih jarang dilalui orang.”

“Apa kota itu masih jauh?” Cole bertanya.

“Kalau kalian bergegas, kalian akan tiba di dekat kota itu besok pagi,” tutur Mango.

“Temukan Jace,” perintah Mira. “Dia sedang menyusul kami. Lalu melaporlah lagi. Awasi kalau-kalau ada yang membuntuti kami. Mereka mungkin saja memakai zirah warna gelap dan menunggangi hewan aneh.”

Lihat selengkapnya