Pagi sunyi. Rumah sepi. Mama mungkin sudah pergi dengan seabrek urusan. Papa jam segini pasti sudah berada di balik meja kantor. Dan, aku baru bangun. Aku sedang menikmati masa-masa pengangguranku.
Jia dari semalam tidak pulang. Mungkin stres gara-gara tiap hari menemaniku mengantar surat lamaran. Sepupuku yang satu itu memang tidak betah di rumah, alasannya pasti sibuk mengerjakan skripsi. Padahal, aku tahu benar, kerjaannya hanya nongkrong seharian.
Aku menggeliatkan tubuh. Badanku terasa pegal. Aku berguling ke kanan dan menggapai ponselku. Haaah?! Lima panggilan tak terjawab dan empat pesan masuk.
Buru-buru kubuka masing-masing notifikasi. Panggilan tak terjawab dari nomor tidak dikenal. SMS-nya dari siapa, ya?
Sender +628xxxxxxxxxx
Panggilan wawancara PT Sukses Selalu
hari Selasa 25/9/2018 pukul 8.00 WIB.
Alamat: Jln. Buah no. 502 C.
Harap memberikan konfirmasi bila bersedia.
Sender +628xxxxxxxxxx
PT Sukses Selalu bergerak dalam bidang
ekspor impor alat elektronik.
Membutuhkan 100 orang karyawan untuk posisi
HRD, SPV, admin, gudang.
Harap memberikan konfirmasi bila bersedia.
Sender +628xxxxxxxxxx
Jadwal wawancara Anda
hari Selasa 25/9/2018 pukul 8.00 WIB.
Pekerjaan di kantor: non sales. Posisi: admin.
Kemungkinan diterima: 99%.
Senin sudah bisa masuk kerja.
Harap memberikan konfirmasi bila bersedia.
Fiuuuh, aku mengembuskan napas panjang. PT Sukses Selalu? Perusahaan apa itu? Kapan aku pernah mengirim surat lamaran ke sana? Duh, gara-gara terlalu banyak mengirimkan lamaran, aku sampai lupa.
Wawancaranya Selasa? Besok? Gawat! Aku belum ada persiapan apa-apa. Gawat, gawat, gawat!
Eh, tunggu dulu, bukankah tadi aku disuruh mengirim konfirmasi? Aku harus menulis apa, ya? Oke, saya bersedia, kok aneh? Saya akan datang, apa lagi itu! Undangan saya terima, tambah aneh.
Nama: Fla Regina
Konfirmasi: bersedia
Aku duduk di kursi tunggu. Sudah setengah jam aku hanya bengong melihat orang-orang berseliweran, sibuk dengan urusan masing-masing. Entah mengapa, rasanya aku sedang berada di tempat yang salah.
Dari awal masuk ke kantor ini, aku setengah tidak yakin. Jangan-jangan salah alamat. Jangan-jangan SMS yang kemarin SMS penipuan atau salah kirim. Jangan-jangan bukan Selasa ini. Pikiranku berhamburan ke mana-mana. Terlebih, tidak ada sekuriti yang berjaga seperti di perusahaan besar lainnya. Namun, setelah berulang kali kucocokkan alamat di SMS dengan plang nama yang menempel di gedung, rasanya tidak salah. Dari namanya, sepertinya ini perusahaan distributor elektronik.
Namun, suasananya terasa aneh. Apakah ini memang kantor distributor elektronik, atau jangan-jangan malah agen penyalur TKI ke luar negeri?
Aku melipat tangan di depan dada, sedikit kebingungan. Mengapa teman-teman seperjuanganku tampilannya seperti ini? Aku menghirup napas panjang dan berusaha berpikir positif.
Ada sekitar sepuluh orang, termasuk aku, yang duduk di ruang tunggu. Aku yakin mereka semua juga sedang menunggu panggilan untuk wawancara.
“Mbak, mau wawancara juga, ya? Ditawarin posisi apa?” tanyaku kepada orang di sebelahku. Wanita dengan muka memelas dan bersandal jepit. Apa sopan wawancara kerja memakai sandal jepit? Sejenak, dia menatapku bingung sebelum akhirnya bicara.
“Eh, iya. Kemarin sih ditawarin admin,” jawabnya lesu. Aku jadi tidak tega bertanya macam-macam lagi.
Tenang, aku tidak boleh memikirkan yang aneh-aneh. Aku kembali menatap ke depan. Kali ini seorang pria berkaus lusuh dan lagi-lagi bersandal jepit! Ya Tuhan, hilangkan keraguanku ini!
Mungkin aku yang salah kostum. Ya ampun, sepertinya aku menjadi pusat perhatian di sini.
Seorang ibu tiba-tiba masuk. Anak dalam gendongannya menangis terisak-isak. Map lusuh tergenggam di tangan kanannya. Sepertinya teman seperjuanganku juga.
Di sekelilingku berisik sekali. Ada beberapa ruangan yang hanya disekat dengan tripleks tipis. Udara panas dan suasana kantornya benar-benar tidak nyaman.
Namaku tiba-tiba dipanggil resepsionis. Rasanya agak sedikit lega. Lama di ruang tunggu membuat otakku kacau.
Seorang bapak berkumis tebal menyambut kedatanganku sambil nyengir. Aku menyambut uluran tangannya dan menyebutkan namaku.
“Edi,” katanya sambil tersenyum. Bukan tersenyum, lebih mirip menyeringai. “Mbak Fla beruntung sekali bisa sampai ke sini,” sambungnya.
Aku hanya tersenyum.
“Sebelumnya sudah pernah bekerja?”
“Belum pernah, Pak. Saya baru lulus bulan kemarin,” sahutku.
“Wah, masih fresh,” katanya sambil terbahak-bahak.
Heran, apanya yang lucu memang?
“Saya jelaskan sedikit tentang perusahaan kami, ya.”
Aku mengangguk mengiakan.
“Perusahaan kami bergerak dalam bidang ekspor impor alat-alat elektronik. Cabangnya sudah banyak. Sudah hampir di seluruh provinsi di Indonesia, tapi kantor pusatnya di Jakarta. Saat ini kami memang lagi butuh banyak karyawan baru. Kemarin Mbak Fla ditawarin jadi apa?”
Aku tersentak kaget. Si bapak sih terlalu banyak cerita, aku kan jadi ngantuk!
“Jadi admin, Pak,” sahutku singkat.
“Perlu saya tegaskan lagi, perusahaan kami seratus persen non sales. Nanti, Mbak Fla kerjanya di kantor. Kemungkinan Mbak Fla buat diterima di perusahaan kami juga sangat besar.”
Aku bertanya-tanya dalam hati. Apakah aku benar-benar sedang diwawancara?
“Ada dua cara agar Mbak Fla bisa langsung kerja di perusahaan ini. Yang pertama, caranya panjang dan agak ribet. Mbak Fla harus tes ke kantor pusat di Jakarta. Kalau Mbak Fla lulus tesnya, baru diangkat jadi karyawan. Cara kedua, ini mudah banget. Saya yakin, Mbak Fla pasti bersedia.” Pak Edi berhenti bicara untuk sesaat. “Di sini ada pilihan produk-produk yang bisa Mbak Fla pilih.” Pak Edi mengeluarkan sebuah katalog berisi berbagai macam produk perkakas rumah tangga.