Hari Senin tampak cerah. Namun, sejak semalam, aku merasa gugup. Tidak bisa tidur nyenyak. Mataku terpejam, tetapi pikiranku berkeliaran ke mana-mana.
Hari pertama bekerja. Rasanya grogi dan tegang sekali. Aku menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Semuanya akan baik-baik saja, batinku di depan cermin.
Kurapikan sekali lagi kemeja putihku sebelum kulapisi dengan blazer hitam. Aku menatap cermin sambil meringis. Kemeja putih, blazer hitam, rok hitam. Tampak seperti anak magang. Aku menyisir rambut sambil memikirkan harus bergaya seperti apa. Diikat masih kependekan, tetapi jika diurai malah tampak berantakan karena rambutku jarang mau menurut. Malas bersusah payah, aku akhirnya membiarkan rambutku tergerai tak keruan. Setidaknya, kini tampilan anak magangku tidak lagi tampak terlalu rapi dan membosankan.
Aku kemudian memulaskan bedak tipis-tipis ke wajah, menyapukan blush on yang menurutku memiliki warna menyeramkan: merah merona, memberi kesan seolah aku baru saja ditampar. Aku menggosok-gosok pipiku perlahan, berusaha menyamarkan warnanya. Sungguh, aku akan sangat frustrasi jika harus melakukan ini setiap hari. Semuanya membuatku emosi. Aku tidak tahu cara menggunakan eyeliner dan membuat sekeliling mataku berlepotan, mirip mata panda. Kusikat bulu mataku perlahan dengan maskara; gatal. Terakhir, kuoleskan lipstik pink pucat ke bibirku.
Jia memaksaku membeli seperangkat alat rias walaupun dia sendiri juga tidak tahu cara berdandan yang benar. Aku menatap pantulan wajahku di cermin. Masih sedikit tidak percaya diri. Aku menarik napas, lagi. Serbasalah rasanya hari ini, semua terasa campur aduk.
Ian pasti tahu cara menenangkan kegugupanku pada hari pertama kerja seperti ini. Aku mengambil ponsel dan menekan nomor Ian.
“Sudah bangun?” tanyaku.
“Barusan. Mentang-mentang hari pertama kerja, semangat banget bangunnya,” ledek Ian.
“Aku tegang! Deg-degan. Mau ngapa-ngapain nggak konsen,” curhatku.
“Kalau dipeluk pasti langsung sembuh.” Ian tertawa.
“Makanya, buruan pulang. Betah banget di sana.”
“Minggu depan aku pulang, kok.”
“Beneran, ya? Dari minggu kemarin bilangnya gitu terus.”
“Miss you.” Suara Ian terdengar lembut saat menyudahi percakapan.
“Miss you too.” Aku menutup telepon dan bergegas keluar dari kamar.
“Kenapa, Ma?” tanyaku kepada Mama yang sedang mengomel di depan kamar mandi.
“Jia udah hampir satu jam di kamar mandi,” kata Mama kesal.
Aku tertawa. “Mama kayak nggak tahu Jia aja.”
“Masalahnya, pagi ini Mama mau nemenin Papa ke acara kantor. Mama harus segera siap-siap.”
“Jia udah selesai, kok, Tante.” Jia keluar dengan tampang tak berdosa. Dia menggosok rambutnya yang basah dengan handuk.
Mama hanya mendengus sebal, kemudian masuk ke kamar mandi. Aku dan Jia tertawa hampir bersamaan.
“Anterin aku, ya.”
“Pergi sendiri kenapa, sih? Manja banget!”
“Ayolah, sekali ini aja. Kamu kan tahu aku nggak pintar-pintar amat bawa motor, apalagi mobil. Papa juga pasti nggak sempat nganterin aku,” pintaku dengan muka memelas.
“Bisa nggak, sih, sehari aja nggak ngerepotin aku?” gerutunya.
Aku hanya bisa nyengir. Jika Jia sudah bicara seperti itu, dia pasti mengiakan permintaanku.
“Pulangnya sendiri bisa, ‘kan?” tanya Jia kemudian. Aku menggeleng. “Lama-lama aku mirip sopir pribadi kamu. Seharusnya kamu minta antar jemput Ian aja, dia kan pacar kamu,” lanjut Jia.
“Ssst ... pelan-pelan ngomongnya. Nanti kalau Mama dengar, bisa diomelin seharian aku,” kataku panik. “Kamu kan tahu sendiri, Ian kerja di luar kota. Masih syukur sebulan sekali bisa ketemu,” jawabku, setengah berbisik.
“Atau mau nyari pacar yang deketan?” goda Jia.
Hampir-hampir tanganku mendarat di kepala Jia, tetapi dia menghindar cepat ke kamar untuk berganti pakaian.
Dulu, aku tidak seperti ini, menyembunyikan hubunganku dengan Ian. Mama dan Papa juga tidak mempermasalahkan hubungan kami. Di mata orangtuaku, Ian sudah cukup dipercaya untuk menjagaku. Kami direstui.
Namun, itu berubah setahun belakangan. Hubunganku dan Ian sudah berjalan satu tahun. Belum terlalu matang, tetapi juga bukan usia jagung yang masih labil. Kami merencanakan hubungan yang lebih serius. Ian berjanji akan melamarku saat aku lulus kuliah. Untuk melangkah ke tahap itu, kami memutuskan untuk bertunangan dulu sambil mempersiapkan diri.
Tentu saja Mama dan Papa setuju dengan permintaan Ian. Dia sudah sangat dekat dengan keluargaku walaupun aku tidak begitu mengenal keluarganya. Yang kukenal hanya mamanya, itu pun hanya sekali bertemu saat acara nikahan sepupunya. Ian juga tidak pernah bercerita apa-apa tentang keluarganya kepadaku.
Ketika rencana pertunangan sudah matang, tiba-tiba sambil menangis Mama memintaku memutuskan hubungan dengan Ian. Mendengarkan permintaan itu saja sudah membuatku kalut, ditambah lagi melihat sedu sedan Mama. Pastilah ada sesuatu yang sangat serius.
Awalnya, aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku pikir semuanya baik-baik saja. Hingga Mama bercerita bahwa ibu Ian mendatangi Mama dan menghina keluarga kami, berkata bahwa aku tidak sepantasnya berhubungan dengan Ian.