Flames & Fleurs

Seirene🍀
Chapter #3

Prasangka

“Silakan, Pangeran Io,” begitu kata Jenderal Dorio ketika mereka memasuki ruang kerja Panglima Archelo. Sang empunya ruangan masih berada di kamar mandi jadi mereka harus menunggu. Pangeran Io masih tidak tahu apa yang akan dihadapinya. Sebenarnya dia sudah cukup terkejut ketika tadi Jenderal Dorio menghampirinya ke perpustakaan istana. Lebih terkejut lagi ketika mengetahui Jenderal Dorio akan membawanya menemui Panglima Archelo. Ada hal penting yang harus mereka bicarakan, begitu kata Jenderal Dorio. 

Pangeran Io mengedarkan pandangannya ke penjuru ruang. Ruangan itu bergaya klasik dengan dinding berwarna abu gelap dan lampu-lampu yang berpendar keemasan. Dia melihat-lihat koleksi lencana dan medali penghargaan yang memenuhi hampir setengah ruangan. Semuanya tersusun rapi di dinding sisi barat, beberapa di antaranya ada di dalam lemari kaca. Dilihat dari banyaknya lencana dan medali itu, dia mencoba menebak-nebak sudah berapa lama Panglima Archelo mengabdikan diri kepada kerajaan. Mungkin sejak usia yang masih amat belia, mungkin seusiaku, batinnya. 

Panji-panji prajurit kerajaan yang beragam warnanya berdiri tegak di sudut ruangan. Sedangkan di sisi timur ada rak besi dengan buku-buku tebal bersampul kulit berderet rapi. Pandangan Pangeran Io menelusuri buku-buku itu. Dia berhenti sejenak kemudian membaca beberapa judulnya. Ayam Dara dengan Telur Emas, Sang Naga Merah, Nimfa, ... Pangeran Io mengenyit membaca judul-judul buku yang menurutnya terlalu kekanakan untuk seorang panglima itu. 

“Apa saya boleh meminjam buku-buku ini?” cetusnya kepada Jenderal Dorio. 

“Itu bukanlah buku dongeng seperti yang Pangeran Io bayangkan.”

Pangeran Io menoleh ke arahnya dengan tatapan heran sekaligus kebingungan namun sedetik kemudian dia kembali mengedarkan pandangannya. Kini matanya berhenti di sebuah lukisan besar yang tergantung di dinding sebelah rak buku. Meskipun masih muda dan berasal dari Phyt, dia bisa mengenali siapa orang di dalam lukisan. Itu adalah lukisan seorang panglima Kerajaan Juit yang paling dihormati sekaligus disegani sepanjang sejarah, yaitu Panglima Drosill. Sebutkan negeri-negeri yang takluk oleh Kerajaan Juit pada masa awal penaklukan daratan Gaea dan daratan Eres maka tersebutlah nama Panglima Drosill. Dia adalah laki-laki berambut terang dengan wajah yang lembut dan mata yang memancarkan tatapan hangat. Orang yang tidak mengenalnya—yang Pangeran Io tidak yakin apakah ada orang yang tidak mengenalnya—pasti tidak akan mengira dia adalah seorang panglima legendaris. Tanpa sadar, Pangeran Io membuka mulutnya penuh ketakjuban. 

“Kau mengaguminya?” suara Panglima Archelo mengagetkan Pangeran Io yang sedang tenggelam dalam kekaguman. Dia baru saja kembali dari kamar mandi.

“Aku bisa meminta Tuan Pirath melukisannya untukmu juga,” katanya lagi, “Ayo, duduklah.” 

Pangeran Io mengangguk. Panglima Archelo duduk di kursi kulit berwarna cokelat gelap di balik meja kerjanya. Jenderal Dorio memberikan salam hormat kepada Panglima Archelo kemudian kembali duduk di sebelah Pangeran Io.

“Maaf karena kalian harus menunggu. Aku masih ada keperluan setelah ini, jadi bolehkah kita langsung mulai saja?” tanya Panglima Archelo lugas. 

Sejak kedatangannya ke Kerajaan Juit, Pangeran Io selalu mengagumi Panglima Archelo karena kepiawaiannya dalam berperang dan memimpin prajurit. Baru kali ini dia melihatnya dari jarak yang cukup dekat. Panglima Archelo adalah sosok yang penampilannya sangat bertolak belakang dengan Panglima Drosill yang legendaris itu. Rambutnya gelap, rahangnya tajam bagaikan dipahat, dan sorot matanya teduh sekaligus hangat di saat yang bersamaan. Masih dengan perasaan yang campur aduk, Pangeran Io mengangguk. 

“Baiklah. Jenderal Dorio, silakan.” 

Jenderal Dorio mulai bicara. Perlahan Pangeran Io mulai menangkap arah pembicaraan mereka dan penyebabnya harus bertemu dengan sang panglima. Pangeran Io tahu cepat atau lambat pertemuan-pertemuannya dengan Paman Alger pasti akan diketahui oleh pihak istana. Akan tetapi, apakah itu sangat mengancam bagi Kerajaan Juit hingga Panglima Archelo harus sampai turun tangan? 

“Apakah kau mengiakan informasi yang diberikan oleh Jenderal Dorio, Pangeran Io?” tukas Panglima Archelo. Pangeran Io terdiam cukup lama. Dia hanya menatap Panglima Archelo dan Jenderal Dorio bergantian. 

“Aku tahu kau mungkin merindukan pamanmu, tapi kau selalu bisa menemuinya secara terbuka tanpa perlu diam-diam pergi ke dalam hutan,” sambung Panglima Archelo kemudian. “Duke Alger bahkan selalu rutin berkunjung ke sini untuk menengokmu, bukan?”

“Panglima Archelo,” ucap Pangeran Io dengan sangat hati-hati. “Saya ada pertanyaan.” 

“Silakan.”

Pangeran Io memejamkan matanya, menarik napas dalam-dalam sebelum kembali bicara. “Selama ini ... apakah saya dimata-matai?” Dia berusaha tenang, mencoba menguasai diri di balik kegugupannya itu.

“Kenapa kau bertanya seperti itu?” Panglima Archelo balik bertanya. Pangeran Io sudah menghabiskan tiga tahun di Juit namun keluarga kerajaan pun masih belum terbiasa dengan karakternya yang tidak tertebak itu. Lalu kini, akhirnya Panglima Archelo menghadapinya secara langsung.

“Saya tahu saat pertemuan saya dengan Paman Alger yang pertama itu ada seorang prajurit kelas menengah yang mencuri dengar pembicaraan kami. Memang bukan sebuah pembicaraan yang penting tapi saya merasa sangat terganggu,” tutur Pangeran Io kemudian. 

“Saya bukannya menginginkan kebebasan sepenuhnya. Saya tahu diri dan sadar betul posisi saya di Kerajaan Juit. Saya berada di sini hanya agar hak saya sebagai pewaris takhta tetap terpenuhi meski pada akhirnya saya tidak akan pernah mewarisi sebuah takhta.” 

“Pangeran Io … terkadang aku tidak percaya kau masih berusia sembilan tahun. Akan tetapi, ketika mendengar jawabanmu barusan, aku setuju dengan Raja Harold dan Ratu Laverna. Pikiranmu jauh lebih dewasa dibanding anak seusiamu,” balas Panglima Archelo sambil tersenyum. 

Lihat selengkapnya