Flames & Fleurs

Seirene🍀
Chapter #4

Mencicipi Kematian

Iris mengerjap perlahan. Rasa-rasanya tubuhnya masih enggan untuk beranjak dari alas tidur. Gadis itu menengok ke kanan dan seberkas cahaya matahari jatuh mengenai wajahnya. Dia bergeser ke sebelah kiri, mencoba menjauh dari cahaya yang menyilaukan itu. Iris kembali menutup mata, berniat untuk kembali melanjutkan tidur. Akan tetapi, suara ribut mengeong berhasil menggagalkannya.

“Haira, diamlah!” seru Iris. Bukannya menurut, kucing itu malah mengeong semakin keras. 

“Haira!” Iris memekik. Mau tak mau Iris pun membuka mata. Dia mendapati kucing gemuknya itu tersangkut di lubang tikus dengan kaki yang meronta-ronta minta dibebaskan.

“Aduh, sudah berapa kali kukatakan, Haira? Kau harus jauh-jauh dari situ! Ini bukan sekali dua kali kau tersangkut di sana lo, masa kau masih tidak hafal?” Iris menggerutu. Dia bangkit kemudian berjalan menuju lubang tikus itu, membantu meloloskan si kucing. Haira langsung meloyong pergi ketika ia berhasil dilepaskan. Gadis bersurai abu kecokelatan itu menghela napas kemudian mencari sesuatu di dekatnya yang bisa digunakan untuk menyumpal lubang. Tidak menemukannya di situ, dia pergi keluar rumah dan mencari batu yang kira-kira seukuran lubang. Setelah menemukannya, Iris kembali masuk ke dalam rumah dan menyumpal lubang tikus itu. 

“Untung pas,” ujarnya lega. Iris kembali beringsut menuju alas tidur ketika perutnya berbunyi tanda minta diisi. 

“Uh, aku lapar.” Terpaksa dia mengurungkan niat untuk kembali tidur. Iris beranjak menuju dapur, memeriksa barangkali bibinya sudah memasak. Akan tetapi yang ditemuinya hanyalah secarik kertas. 

Kau masih saja sulit dibangunkan jadi aku pergi ke pasar dulu. Susul aku ke sana begitu kau sudah bangun. Kalau tidak menemukanku di sana, itu berarti aku sudah pergi ke Hutan Huis.

Salam sayang,

Bibi Velma. 

Iris menggeram kesal. Bibi Velma lagi-lagi meninggalkannya pergi ke pasar hanya karena dirinya yang sulit dibangunkan dari tidur. Bukan sekali dua kali. Bibi Velma pun selalu mengeluh soal itu. Akan tetapi, Iris merasa itu adalah satu-satunya hal yang dikuasainya dengan cukup baik.

Iris segera berlari kecil menuju keran air di halaman rumah. Setelah mencuci muka dan merasa cukup segar, dia mengikat rambut bergaya ekor kuda. Hanya sebentar saja jadi aku tidak perlu mandi dulu, pikirnya. Dia masuk ke rumah, meraih tas pinggang yang tergantung di dinding kemudian bergegas keluar.

“Haira, aku mau ke pasar! Kau mau ikut tidak? Ayo, pergi ke pasar!” teriaknya. Iris mengeong sekali dua kali. Tak perlu menunggu lama, kucing berbulu hitam itu melompat dari balik semak-semak dan langsung mengusapkan kepala ke kaki tuannya. Iris berseri dibuatnya. Meski sering membuatnya kesal, namun Haira adalah pelipur lara. Pada mulanya, ia hanyalah kucing liar yang sering singgah di rumah untuk sekadar mencari makan. Maklum saja di rumah memang banyak tikus. Selain itu ibunya yang penyayang kucing juga suka memberinya makan, entah itu sekadar ikan hasil tangkapan di sungai atau daging yang dibawa pulang ayahnya. Tertarik dengan rupa yang bagus, Iris pun merengek ingin menjadikan kucing itu peliharaan. Sang ibu mengizinkan dan Iris pun memelihara si kucing. Dia memberinya nama Haira yang berarti si jantan berbulu lebat. 

“Iris! Aduh, anak gadis ini... Kenapa kau selalu bangun sesiang ini? Kasihan bibimu.” Salah seorang tetangga menegurnya ketika dilihatnya Iris keluar dari halaman. Iris hanya terkekeh mendengarnya. Dia tersenyum dan memberi salam sebelum akhirnya bergegas pergi.

🍀🍀🍀

Setelah berjalan sekitar lima kilometer, akhirnya Iris tiba di pasar tujuan. Udara kian panas. Terik matahari kian menyengat. Dentang lonceng dari markas prajurit istana yang terletak tidak jauh dari pasar itu menandakan waktu sudah masuk tengah hari. Iris memicingkan mata. Pasar mulai sepi. Tidak terdengar lagi hiruk-pikuk kehidupan di pasar. Dilihatnya para pedagang yang mulai menutup lapak dagangan. Gerobak-gerobak berjalan keluar masuk pasar. Ada yang pulang seusai berdagang. Ada yang datang untuk menjaga kebersihan.

“Ah, aku benar-benar kesiangan,” gumamnya. Dia masih bisa mencium sisa semerbak aroma roti cokelat di pintu masuk pasar. Iris buru-buru menutup hidung ketika aroma lembut itu tergantikan amis ikan begitu dia terus masuk ke dalam. Dirinya berharap-harap cemas apakah Bibi Velma masih ada di pasar atau sudah pergi ke hutan. Juga berharap-harap cemas masih adakah pedagang yang menjual makanan sekadar untuk mengganjal perutnya yang kelaparan.

Lihat selengkapnya