Flames & Fleurs

Seirene🍀
Chapter #5

Mage

Iris memantapkan hati dengan berat. Hanya dengan satu tarikan napas dan mata yang masih tertutup rapat, dia melompat dari tebing.

“Sialan!” ujar si Ikal begitu mereka tiba di ujung tebing. Dia melongok begitu lama, memastikan korbannya tidak muncul lagi ke permukaan air laut. Setelah dirasa aman, dia berbalik dan menemukan si Kekar yang baru tiba dengan langkah pincang.

“Aku tidak mengira dia akan seberani itu. Larinya cepat juga. Kau bahkan kewalahan, kan?” Si Kekar menyeringai tajam. Dia jatuh terduduk. Wajahnya terlihat menahan sakit. Sebelah tangannya langsung mengelus kaki yang pincang.

“Siapa pula yang mau berurusan dengan kita?” tanya si Ikal retoris. Dia mengibaskan rambut dan berbalik menatap rekannya.

“Sudah kukira ini akan sia-sia saja. Lagipula kenapa kita harus mengejar anak kecil itu? Buang-buang waktu. Orang tuanya pasti mencari-carinya setelah ini, lalu kita akan tertuduh lagi!” omelnya.

“Oh, setelah berhasil mendorongnya untuk bunuh diri, sekarang kau mengasihani keluarganya?”

“Cih! Gara-gara istana sialan itu, berani-beraninya mereka mencemarkan nama kita demi menutupi kebusukan!” Mata si Ikal berkilat penuh                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                 hamarah.

“Biar saja. Mereka harus tahu klan Nomad benar-benar sudah kembali ke Juit. Kita masih kuat dan tidak akan pernah terkalahkan,” tutur si Kekar.

“Ayo pergi!”

🍀🍀🍀

Iris melompat dan kakinya sempat membentur dinding tebing sebelum benar-benar jatuh ke dalam air. Dia hanya bisa mengerang kesakitan. Semuanya terjadi begitu cepat. Dalam sekejap tubuhnya sudah memecah laut. Buih-buih memenuhi sekeliling tubuhnya, menghalangi pandangan. Hanya debur air yang bisa didengar. Hanya dingin yang bisa dirasakan. Masih dengan mata yang terpejam, beberapa kenangan bersama ayah dan ibu berputar dalam kepalanya seperti film yang dipercepat. 

“Ibu, kenapa Ayah masih belum pulang?”

“Entahlah.” Ibunya menghela napas. “Tidurlah lagi, Iris. Malam sudah larut. Apa kau begitu mencemaskan Ayahmu?”

“Aku takut bermimpi buruk lagi. Tadi itu sungguh menyeramkan!” balas Iris.

“Tenanglah. Jangan takut. Ibu di sini, Sayang.”

“Apa Ayah dan teman-temannya pergi mengantar pangeran itu ke negeri Phyt lagi?” Iris menoleh dan menatap wajah ibunya. Dia bisa melihat raut kebingungan di sana.

“Tidak, Sayang. Tidurlah. Kau akan berjumpa dengannya begitu pagi tiba,” jelas sang ibu.

“Bagaimana kalau tidak, Ibu?”

“...”

“Ayah!” Iris berteriak girang keesokan harinya ketika dilihatnya sang ayah tengah berbaring di ruang tamu.

“Sayang, jangan dulu!” Ibu menghadang jalan ketika Iris hendak menghampiri ayahnya. 

“Kenapa, Ibu? Aku sudah sangat merindukan Ayah,” begitu kata Iris. Dia berhenti sejenak. “Kenapa teman-teman Ayah ikut datang ke rumah?” Iris menatap sang ibu yang kian pucat pasi. Ada nuansa kelabu yang meredupkan binar matanya. Ibu berlutut menyejajarkan diri kemudian memeluk erat Iris.

Sekujur tubuh Iris seakan mati rasa. Gelembung-gelembung air kian menjauh seiring dirinya yang terus tenggelam. Tubuh Iris terasa ringan, namun kedua kakinya terasa berat. Ditambah lagi rasa perih yang menyengat luka di kakinya. Air laut terasa mencekik. Napasnya mulai sesak. Iris meronta-ronta dan kembali membuka mata. 

Ayah, Ibu, apakah ini rasanya kematian?

Dia belum siap menghadapi kematian. Berbekal kemampuan berenang seadanya, Iris mencoba naik ke permukaan. Akan tetapi tubuh kecilnya sudah begitu kepayahan. Sekuat apapun dia mencoba, tubuhnya tetap tidak mencapai permukaan laut yang terlihat begitu jauh di atas sana. Merasa sia-sia, Iris kembali memejamkan matanya. Dia membiarkan dirinya kembali tenggelam. Akan tetapi, ombak membenturkan dirinya ke dinding tebing. Untuk kedua kalinya, Iris lagi-lagi hanya bisa mengerang kesakitan.

Apakah aku benar-benar akan mati?

Mungkin.

🍀🍀🍀

Angin bertiup kencang. Ombak bergulung-gulung. Bibi Velma mendongak dan tatapannya terpaku di ujung tebing. Dia bisa melihat Iris berdiri di sana. Tolong selamatkan Iris, begitulah permohonan dari kucing hitam gemuk yang kini mengekorinya. Dia percaya Haira sebenarnya bukan sembarang kucing hitam. Ia bisa saja mage1 yang menjelma dalam tubuh kucing atau kucing yang dulunya pernah dipelihara mage. Ini mungkin terdengar gila bagi kebanyakan orang terutama bagi orang-orang di Kerajaan Juit. Akan tetapi hal itu tidak berlaku baginya karena dia sendiri juga merupakan seorang mage. Dia percaya hal-hal seperti ini. 

Lihat selengkapnya