BAB 2
Pastilah tidak mudah menahan ratap tangis dan kemasygulan yang mengiringi tragedi besar yang secara serentak terjadi di sejumlah kota di Indonesia pada pertengahan Mei 1998. Petaka mengenaskan yang merebak di ujung kekuasaan Soeharto. Sudah puluhan tahun berlalu, namun Marni masih belum bisa menatap langit senja dengan tegap. Karena senja bagi Marni adalah malapetaka. Senjalah yang mengantarkan suaminya ke peristirahatan terakhir. Senja pulalah waktu terakhir Dewa membuka matanya.
Marni akan duduk selama beberapa waktu hingga lembayung senja menyapa. Lalu ia akan pergi mengunjungi resto miliknya seperti sekarang. Dengan mengendarai mobil hitam miliknya, Marni bergegas menuju Mirasa.
Di tengah perjalanan, ponsel Marni berdering. “Iya, aku masih di perjalanan dari rumah sakit mau ke Mirasa. Ada apa, Nur?”
“Ada masalah di sini, Bu. Nanti saja nunggu Ibu sudah sampai sini, Nur cerita,” terdengar jawaban di seberang.
“Baik, Nur…”
Marni menutup panggilan Nur, salah satu staf rumah makan kepercayaannya. “Ada masalah apa lagi?” gumam Marni.
“Pak Warno, kita ke Resto Gayatri sekarang, ya,” ujar Marni ke Pak Warno. Laki-laki paruh baya itu mengangguk.
“Nggak jadi ke Mirasa, Bu?” tanya Pak Warno memastikan.
“Nggak, Pak. Ada urusan penting di Resto Gayatri,” tegas Marni.
“Baik, Bu.”
Setengah jam kemudian, mobil berhenti di sebuah rumah makan mewah di daerah Kemang. Tertera tulisan besar bergaya retro, Resto Gayatri. Halaman parkir yang luas terasa teduh dipenuhi sejumlah tanaman perdu di bagian tepinya. Angin berembus sejuk, memberikan rasa nyaman dan ketenangan. Marni berhasil menyulap bangunan yang dulunya rumah peninggalan Belanda menjadi sebuah restoran mewah bernuansa rumah hunian dengan dominasi hiasan interior terbuat dari kayu jati berukir bunga dan dedaunan. Sangat cantik sekali.
Marni berjalan menyisiri bagian teras yang menghubungkan area makan dalam dengan taman. Di bagian ujung terdapat area makan yang bersebelahan dengan kolam renang. Air kolam renang berkilauan diterpa pantulan sinar matahari. Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 11.00. Marni melihat Pardi sedang sibuk menata meja kursi yang berserakan. Beberapa tanaman hias tercabut dari taman.
Nur menunggu Marni di dekat kasir. Begitu ekor matanya menangkap kehadiran Marni, gadis muda itu bergegas menyambutnya.
“Apa yang terjadi, Nur?” Marni menghentikan langkahnya. Ia mendapati sesuatu yang tidak beres.
“Iya-iya, Bu… Kita bicara di dalam saja, ya?” kata Nur.
Keduanya berjalan di tepi kolam, melintasi sebuah lorong yang diapit tanaman hias di kanan kirinya. Marni dan Nur memasuki sebuah balai luas. Mereka menuju sudut ruangan. Satu set meja kursi terbuat dari kayu jati berukir bunga melati terpajang di sana.
“Duduklah, Nur. Ceritakan apa yang terjadi?”
Marni melambaikan tangan ke arah Pardi yang masih membereskan meja dan kursi yang berantakan. “Mas Pardi, tolong ambilkan dua gelas teh hangat ya…”
Pardi mengangguk. Ia meninggalkan pekerjaannya lalu bergegas ke arah dapur. Sekitar sepuluh menit kemudian, laki-laki seumuran Nur itu kembali sambil membawakan dua gelas teh hangat yang masih mengepulkan asap tipis. Aroma lemon dan daun mint tercium di antara gulungan asap tipis yang menari-nari di atas gelas.
“Makasih ya, Mas.”
Pardi mengangguk lalu berpamitan melanjutkan pekerjaannya, menata bangku dan membersihkan taman di sisi lorong.
“Minum dulu, Nur.” Marni mengangsurkan satu gelas teh untuk Nur.
Nur hanya minum satu tegukan saja. “Begini, Bu…” Ia mengambil napas sejenak. “Baru sekitar 15 menit resto buka, ada tiga laki-laki berbadan kekar datang ke sini…”