BAB 4
Langit di ujung barat mengurai warna jingga pekat dan sedikit hitam. Udara di kampus Universitas Trisakti terasa basah ketika puluhan aparat berseragam berlarian. Dari moncong senapannya, peluru menghambur mengejar sasaran. Diiringi desingan peluru, ratusan mahasiswa berlarian kocar-kacir. Asap gas air mata mengepul. Darah tertumpah membasahi bumi pertiwi.
Di halaman kampus Trisakti, butiran peluru telah menewaskan empat mahasiswa. Sisa-sisa ingatan itu masih lekat di benak sesosok pria paruh baya yang kini sedang menyetir mobil. Sebuah mobil CRV putih melintas di depan kampus Trisakti. Aryo melirik sekilas gedung kampus tempat kuliahnya dulu. Ia menelan ludah dan kembali melajukan mobil menuju gudang terbengkalai tempat dahulu ia nongkrong bersama rekan-rekannya. Andra yang duduk di samping Aryo terlihat sibuk membalas pesan di ponselnya.
Setelah memarkir mobil, mereka berjalan menuju bangunan di balik sebuah gedung tua. Keduanya kini berada di ruangan sempit dengan dinding beton berwarna putih. Aryo dan Andra terlibat pembicaraan serius.
“Loe yakin, Ndra?”
Aryo mengembuskan asap rokok ke udara, membentuk gulungan asap tipis yang melayang-layang. Lelaki itu menatap tajam lawan bicaranya.
“Ada dua kemungkinan. Kondisi Dewa akan makin memburuk dan… death…” Andra melintangkan telapak tangannya di depan leher, “Atau mungkin sebaliknya… akan menjadi titik sadar dia…”
“Hah? Yang benar ada kemungkinan kedua?” Aryo terperanjat. Ia bangkit dari kursinya dan menepuk bahu Andra.
Andra mengangguk. “Itu yang sempat aku pelajari dulu sewaktu kuliah. Bukannya kabar bagus ya kalau Dewa sadar?”
“Yah, maksud gue bukannya nggak seneng, sih. Gue juga bersyukur kalau dia bisa bangun lagi." kata Aryo mengalihkan topik. "Lalu kalau Dewa sadar… ehm… apakah ingatannya masih berfungsi dengan baik? Kejadiannya sudah 25 tahun silam. Bahkan sudah banyak korban peristiwa 1998 memilih berdamai dengan trauma akibat kerusuhan…”
Aryo menghadapkan wajahnya persis di hadapan Andra.
“Loe gila ya, kejadian itu tidak layak dilupakan dan loe tau benar hal itu. Kita kehilangan Marta, Johan dan banyak lagi. Orang yang melupakan semua hal itu tidak layak disebut mahasiswa Trisakti," kata Andra marah.
"Yah, maksud gue bukan ingatan kita. Tapi ingatan Dewa," jawab Aryo.
"Kalau itu, kemungkinan besar dia akan hilang ingatan, entah permanen atau sebagian…” gumam Andra.
Aryo mendengus. “Ini bisa bikin masalah baru!”