Flashback 1998

Melty S Riscahyanti
Chapter #5

Chapter 5

BAB 5

 

Tak biasanya Marni menghabiskan hari-harinya di rumah. Biasanya ia akan pergi ke rumah sakit dan selebihnya mengurusi lima restoran utama peninggalan suaminya. Untuk resto cabang, Marni memercayakan pada stafnya. Sesekali waktu Marni menyempatkan diri mengecek kondisi dua rumah mewahnya yang dikontrakkan. Namun berbeda dengan hari ini. Ia merasa ia harus menenangkan diri sejenak di kamarnya. Kamar yang cukup besar dengan dekorasi klasik. Di dinding atas tempat tidurnya tergantung lukisan cukup tua miliknya. Di sana nampak raut bahagia dirinya, suami dan anaknya. Lukisan yang sangat berharga bagi Marni.

 

"Mas, aku lelah…" gumam Marni sembari memandang wajah almarhum suaminya. "Ingin rasanya aku menyusul Mas saja."

 

Marni menyandarkan punggungnya di bantalan sofa. Ia memijat-mijat keningnya beberapa saat lalu memeriksa deretan pesan di WA-nya. Nomor tak dikenal itu kembali mengirimkan pesan ancaman.

 

Sepuluh miliar itu terlalu murah untuk harga sebuah nyawa.

 

Marni kembali memijat keningnya. Kepalanya terasa pusing. Hampir saja Marni beranjak dari sofa saat ponselnya berdering nyaring. Marni tampak ragu ketika sorot matanya menatap layar ponsel yang menampilkan deretan angka tanpa nama.

 

Degup jantung Marni mulai berpacu. Marni berjalan mondar-mandir beberapa saat melirik ke arah lukisan suaminya lalu beralih ke Dewa, seolah ingin mendapat jawaban dari keduanya. Setelah membuang napas panjang akhirnya ia memutuskan untuk menerima panggilan itu.

 

“Jadi kapan kamu akan menyerahkan uang sepuluh M itu?” suara parau terdengar di seberang.

 

“Anda-anda… sii… apa?” Keringat dingin mulai membasahi kening Marni.

 

Terdengar suara terkekeh.

 

“Serahkan uang yang kuminta besok pagi jam sembilan. Aku akan segera mengirimkan lokasinya. Jangan coba-coba memanggil polisi atau menipuku. Satu nyawa sebagai penggantinya. Ingat, sepuluh miliar Bu Marni. Jumlah yang sangat kecil untuk menebus satu nyawa. Kami punya hadiah untukmu malam ini. Lihat dan terimalah dengan senang hati!”

 

Suara tawa parau itu mengakhiri panggilan.

 

Marni mengempaskan tubuhnya di atas sofa. Ia membiarkan ponselnya tergeletak begitu saja. Tubuhnya terasa lunglai. Napasnya mulai tidak beraturan. Ruang udara di dadanya terasa sempit.

Lihat selengkapnya