Flashback 1998

Melty S Riscahyanti
Chapter #6

Chapter 6

BAB 6

 

Dewa yang masih koma tidak bisa menggerakkan seluruh anggota tubuhnya. Matanya terasa gelap karena melekat satu sama lain terlalu lama. Mulutnya terasa kering, dahaga seperti tidak pernah tersentuh air berabad-abad lamanya. Suara mesin pengukur detak jantung mulai terdengar nyaring. Tetesan infus mulai menyadarkan keberadaannya sekarang. Namun Dewa tetap tidak bisa menggerakkan ujung jarinya. Dalam kebingungan, serpihan ingatan mulai membanjiri kepalanya saat ini, membuatnya terasa pusing dan makin tersiksa.

 

Sayup-sayup Dewa mulai mengingat sesuatu, membuatnya merasakan kerinduan yang membuncah. Sesuatu yang dekat tapi terasa sangat jauh. Kemunculan Abah Yai membuat Dewa terjebak kembali di kenangan saat kerusuhan 1998.

          

“Banyak bacot! Habisi dia!” gertakan sosok tinggi garang sedang menyungkurkan kepala Dewa ke tanah. Dewa berusaha membuka matanya, namun ia hanya bisa membuka sedikit saja karena bengkak. Darah yang menetes dari pelipis juga mengaburkan penglihatannya.  Lelaki, entah siapa orang itu dengan santainya menginjak kepala Dewa berkali-kali dan tertawa pada teman-temannya yang lain.

           

“Mau kamu apa kan orang-orang ini?” ujar salah seorang temannya yang bersandar di dinding. Kepulan asap rokok melayang di udara membuat wajahnya tak jelas di pandangan Dewa.

          

“Siapa lagi? Mereka ini siapa? Mengapa begitu banyak orang asing di sini? Apa yang aku lakukan hingga mereka berbuat seperti ini padaku?” Pertanyaan demi pertanyaan silih berganti menjejali otak Dewa.

       

“Bunuh mereka semua, kecuali dia!” Sekali lagi orang itu menginjak kepala Dewa, rasanya sangat sakit. Dunia terasa jungkir balik setiap kali ada kaki melayang di kepalanya. Pandangan Dewa kian kabur. Telinganya berdengung hebat. Darah lagi-lagi mengalir dari pelipis, hidung, dan mulutnya. Rasanya asin dan memuakkan, membuat Dewa ingin memuntahkan seluruh makanan di perutnya.

          

“Tolong jangan lakukan itu! Dasar kalian semua biadab! Kalian tak ubahnya seperti iblis berkedok manusia!” Suara seorang wanita membuat bola mata Dewa ingin melirik ke arah wanita itu.

       

Marta! Ya, di sana Dewa melihat Marta, teman seangkatannya sedang ditarik paksa kakinya oleh lelaki yang lagi-lagi tak dikenal Dewa. Lelaki itu menyeret kaki kiri Marta dengan kasar. Kedua tangan dan mata Marta diikat kain hitam. Dari mulut gadis itu terus menerus keluar makian kasar sementara lelaki yang membawanya menariknya kian kuat dan menyingkirkannya ke dalam sebuah ruangan. Lima lelaki yang lainnya mengikuti mereka masuk ke dalam.

      

“Memangnya kenapa kalian juga orang-orang Tionghoa selalu merampas milik kami para pribumi, hah? Punya hak apa kalian menggurui kami? Dasar bangsa pendatang yang menjijikkan! Para penjilat penguasa!” kata lelaki yang menarik paksa Marta lantang hingga terdengar sampai ke telinga Dewa, padahal jarak mereka cukup jauh. “Gadis cantik sepertimu harusnya melayani kami seperti gundik. Posisi itulah yang paling tepat buatmu!”

 

Lihat selengkapnya