BAB 8
Sinar matahari menembus kaca-kaca rumah sakit membuat beberapa aktivitas pegawai terlihat sangat hidup dan energik. Para pasien rawat jalan juga telah memenuhi bangku-bangku di ruang pendaftaran dan tindakan. Marni terlihat tergesa menuju lift. Ia menggerak-gerakkan kakinya tidak sabar menunggu pintu lift terbuka. Marni menekan angka 7 dan lift pun segera naik ke tujuan.
Marni disambut wajah ceria para perawat di lantai itu. Mereka seolah mengucapkan selamat pada Marni. Buah dari kesabaran seorang ibu. Tidak jauh dari tempat Marni, di dalam ruang perawatan Dewa, beberapa dokter tampak sibuk mengecek kondisi Dewa.
Marni segera membuka pintu ruangan. Ia menatap anaknya dengan perasaan campur aduk. Wajahnya menyiratkan kebahagiaan, haru, sedih, dan entah perasaan apa lagi.
Dokter menahan Marni, meminta Marni bersabar sampai dokter selesai melakukan sejumlah tindakan.
Dengan kecewa, Marni meninggalkan ruangan. Ia mondar-mandir dengan gelisah di depan ruangan. Ia menatap jam di pergelangan tangannya. Jarum jam menunjukkan pukul 09.00.
Pandangannya kini beralih ke pintu yang masih tertutup. Marni sesekali duduk, lalu berjalan mondar-mandir kembali. Ia melakukan itu berulang kali. Wajahnya terlihat makin tegang.
Jam di dinding menunjukkan pukul 10.00, pintu ruangan masih tertutup rapat. Seorang dokter keluar dari ruangan.
Dengan tak sabar, Marni langsung menghampiri dokter tersebut. “Bagaimana kondisi Dewa, Dok?”
“Putra Ibu sudah sadar. Sayangnya, ingatannya belum kembali pulih. Putra Ibu masih kesulitan mengenali namanya sendiri.”
Perkataan dokter membuat kaki Marni lunglai tak bertenaga. Marni menopang tubuhnya dengan bersandar di dinding ruangan. Sekuat tenaga ia menahan berat tubuhnya agar tidak melorot turun. Air matanya memburai.
000
Suara tetesan infus menemani Dewa di ruangan serba putih itu. Di tubuhnya masih banyak selang yang menempel. Dewa merasa tidak nyaman dengan peralatan ini. Dewa melihat sekitar. Ia bingung, mengapa ia ada di rumah sakit. Seingatnya, ia sedang ditawan oleh orang-orang yang tak bisa ia ingat namanya.
Ingatan Dewa tercampur. Ia bisa mengingat hal-hal random setiap kali ia bangun dari pingsannya. Lalu kali ini yang ia ingat adalah situasi terakhirnya sebelum ia koma.
Dewa melihat ada wanita yang sedang mengobrol di luar ruangan dengan berurai air mata. Ia mengenali suara wanita itu, tapi ia tidak mengenali wajah tua wanita itu. Kerutan di wajahnya sangat banyak. Wajah itu mirip ibunya sendiri namun terlihat sangat tua. Dewa berpikir, wanita itu mungkin neneknya yang lama tidak ia jumpai. Tapi entahlah, Dewa tidak bisa mengingatnya.
"Maaf, Nek. Anda siapa? Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" kata Dewa disambut derai air mata dari wanita di depannya itu.
"Dewa, sayangku. Ini ibu, Nak. Ibumu. Apa kau tidak mengenali wanita tua ini, Nak?" Marni, wanita itu mendekat ke ranjang Dewa. Ia bermaksud memeluk Dewa, namun ia urungkan niatnya. Marni takut anaknya merasa tidak nyaman.
"Ibuku? Seingatku ibuku wanita yang cantik dan energik. Ah, aku tidak bermaksud mengatakan bahwa Anda tidak cantik. Maksud saya, ibuku wanita yang jauh lebih muda dari Anda, Bu. Mungkin Anda keliru mengenali anak Anda." Dewa berusaha mengatakan pada Marni bahwa ia bukanlah ibunya.
"Nak, itu cerita lama. Sekarang ibumu ini sudah menjadi wanita tua yang tidak cantik lagi." Marni tersenyum dan terus mengatakan bahwa ia adalah ibunya.
Dewa tahu benar, ibunya wanita tambun paruh baya yang energik dan penuh senyum. Tapi sekarang yang ia lihat wanita tua penuh keriput, wajahnya tirus, tubuhnya ramping dan berkerudung. Dewa kembali mengarahkan pandangannya pada Marni, membuat Dewa makin bingung. Berat wanita yang mengaku ibunya ini mungkin separuh dari berat ibunya yang ia kenal.
"Apa kau mau makan, Nak? Ibu membawa makanan kesukaanmu." Marni mengeluarkan rantang berisi nasi dan kari ayam. Bau masakan itu sangat Dewa kenali. Itu bau masakan ibunya.