BAB 9
Dewa menghirup udara pagi yang cukup segar. Sinar matahari menerobos masuk ke dalam ruang keluarga dari balik jendela besar. Sudah seminggu ini Dewa menjalani perawatan di rumah. Seminggu sekali Marni mengantarkan Dewa ke rumah sakit untuk pemeriksaan rutin.
Dewa menyandarkan tubuhnya di atas sofa. Beberapa kali Dewa memijat kepalanya. Setiap satu keping puzzle terjalin, saat itu juga rasa nyeri hebat menyerang kepalanya. Dewa mengaduh. Kepalanya seperti disetrum listrik. Buru-buru Dewa memejamkan mata lalu menghirup udara dalam-dalam. Ia ingin mengubur kepingan fragmen yang terus berkelebat di benaknya, namun gagal. Mata Dewa memang terpejam, tapi tidak dengan mata batinnya yang berkelana menjelajah waktu. Merasa usahanya gagal, Dewa akhirnya membuka mata.
Ekor mata Dewa menangkap bayangan Marni berjalan ke arahnya sambil membawa sesuatu. Dewa mengerjapkan mata. Pandangannya kini mulai fokus.
“Ibu membawa apa?” Dewa masih terasa canggung mengucapkan kata ibu pada Marni.
Marni tersenyum. Ia menaruh tumpukan album di atas meja.
“Nanti ibu cerita. Ibu ambilkan air putih dulu, ya?” Marni bergegas ke arah dapur yang bersisian dengan ruang keluarga. Hanya dalam hitungan kurang dari dua menit, ia sudah kembali membawakan satu gelas air putih dan sepiring pisang bolen.
“Tadi pagi dapat kiriman paket dari teman kuliahmu, Aryo sama Andra. Ternyata pisang bolen kesukaanmu. Mereka masih hafal kue kesukaanmu, Dewa… padahal sudah 25 tahun kalian nggak lagi bersama…” kenang Marni.
Marni menaruh segelas air putih dan sepiring pisang boleh bertabur parutan keju di atas meja.
“Minum dulu, Dewa…” Marni mengangsurkan segelas air putih kepada Dewa.
“Ibu… Ibu tadi bilang siapa? Teman Dewa?” Dewa meneguk air putih sambil mengingat-ingat sesuatu.
“Oh, itu si Aryo sama Andra. Kalian dulu teman dekat waktu kuliah. Bahkan saat aksi 1998 kalian juga selalu bersama…”
Marni tersenyum lalu mengambil sebuah album di tumpukan teratas.
“Sebentar, ibu carikan foto mereka di album ini…”
Untuk beberapa saat Marni membolak-balikkan lembaran demi lembaran dalam album foto lalu beralih ke album berikutnya.
“Ini… Ini foto kalian bertiga. Aryo rambutnya sedikit gondrong dan Andra selalu rapi seperti kamu Dewa.”
Marni menunjukkan satu foto. Di sana tampak Aryo, Andra, dan Dewa berdiri mengenakan jas almamater dengan view Gedung DPR di belakangnya.
“Foto ini sebelum 12 Mei 1998.”