BAB 11
Aparat merangsek masuk ke dalam kampus Universitas Trisakti. Beberapa dari mereka mengambil posisi di atas gedung yang sedang dibangun di sebelah gelanggang mahasiswa. Mereka bersiaga mengarahkan moncong senapan ke arah massa mahasiswa. Kericuhan terus berlangsung. Sesekali terdengar muntahan timah panas. Massa mahasiswa berlarian ke dalam kampus untuk menyelamatkan diri. Ambulans sibuk mengevakuasi sejumlah mahasiswa yang terluka menuju Rumah Sakit Sumber Waras di sisi timur Trisakti.
Senja tak lagi seindah biasanya. Tak ada lagi gelak tawa di sini. Senyuman indah itu kini berubah menjadi ratapan dan nestapa. Darah tak berdosa telah membasuh ibu pertiwi yang terluka. Langit Jakarta terlihat kelam dan pekat. Tirai malam sempurna diturunkan. Aroma kematian menguar kuat.
Sekitar pukul 19.00 aparat keamanan ditarik mundur dari halaman kampus setelah terjadi negosiasi yang disaksikan Komnas HAM, Kontras dan beberapa diplomat asing. Ketegangan sedikit mereda menjelang pukul 20.00 WIB. Tidak lagi terdengar letupan timah panas.
Dewa bergegas. Ia memutuskan untuk pulang. Naas, ia menemukan motornya di parkiran dalam kondisi rusak dan kedua bannya kempes.
“Pergi kamu dari sini! Kamu harusnya tidak di sini! Mereka akan membunuhmu!”
Lengan Dewa digelandang seseorang dengan cepat ke arah semak-semak rimbun tak jauh dari parkiran. Tubuh Dewa terhuyung beberapa detik lalu terjerembab di atas rerumputan.
“Kamu lagi, hah?” Mata Dewa terbelalak.
“Mereka mengincarmu! Mereka mau menghabisimu!” bisik sosok tersebut sambil mengangkat jari telunjuknya sebagai isyarat agar Dewa merendahkan suaranya.
“Mengincarku? Kalau omonganmu benar, apa aku harus takut dan kabur begitu saja? Konyol sekali!" dengus Dewa.
Dewa bangkit, namun sosok tadi dengan cepat menggelandang Dewa ke balik sebuah gedung.
"Hei, Bung! Kamu nggak perlu ngikuti aku lagi! O, ya makasih, kamu sudah membantuku dan teman-temanku…” ucap Dewa tidak peduli sambil mendorong tubuh tegap pria paruh baya yang menariknya. Ia sadar, apa yang ia lakukan memang akan menjadikan nyawanya sebagai taruhannya. Risiko sebuah perjuangan dan Dewa sudah siap menghadapinya.
Sosok itu tidak putus asa menghadapi Dewa yang keras kepala. Ia bahkan membekap mulut Dewa dengan slayer lalu mengikat erat kedua tangan Dewa dengan seutas tali rafia. Dewa meronta, berusaha melepaskan diri. Namun tenaga pria paruh baya itu ternyata lumayan kuat.
“Diamlah! Atau… kamu memang mau mati?” Sepasang mata elang menatap tajam ke arah Dewa dengan geram.
Terdengar langkah tak beraturan beberapa meter dari tempat Dewa berada. Lima orang mengenakan penutup kepala hitam dan bersenjata laras panjang dengan sigap menyisir area di sekitar tempat Dewa bersembunyi. Mereka berpencar.
“Ada di sini!” Salah satu dari mereka berteriak lalu dengan cepat memuntahkan timah panas ke arah Dewa. Dewa terkejut. Ia memejamkan matanya, menunggu detik-detik malaikat maut menjemput. Dewa sadar, dirinya tidak mungkin selamat.
Suara butiran timah panas berdesing, siap menerjang dada Dewa. Dewa berteriak, “Hentikan...!”
Sepersekian detik kemudian, suasana terasa hening. Dewa merasakan kejangggalan. Ia memberanikan diri membuka matanya. Anehnya, tidak ada darah yang menetes. Tidak ada luka sedikit pun di tubuhnya. Hanya ada beberapa helai rambutnya yang terbakar. Dewa menatap tembok di sampingnya yang berlubang.
“Apa yang terjadi?”
Mata Dewa terbelalak. Ia tidak percaya atas apa yang terjadi. Baginya, ini sungguh tidak masuk akal. Orang-orang yang ingin menangkapnya tadi sudah terkapar tidak sadarkan diri.