BAB 14
Matahari meninggi. Sinarnya mengiringi langkah Dewa. Ia berjalan menuju suara teriakan histeris dari para mahasiswa. Dewa melihat ratusan bahkan ribuan orang berkumpul di sana. Mereka memang sengaja dikumpulkan di tempat itu untuk mengikuti orasi bersama mahasiswa-mahasiswa lain. Begitu banyak massa berkumpul di halaman parkir Universitas Trisakti pukul 11 pagi, 12 Mei 1998. Ada guru besar, dosen, mahasiswa, karyawan, dan alumni.
Ada gerakan seseorang yang menarik perhatian Dewa. Ia melihat wajah yang sama seperti dirinya namun jauh lebih muda. Laki-laki itu mengenakan jas almamater biru dan membawa pengeras suara di tangannya. Dewa mengikuti sosok dirinya dari kejauhan.
Suara mahasiswa makin lantang. Beranjak siang, aliran manusia kian deras. Hawa mulai menghangat tatkala lima ribuan mahasiswa bergantian memekikkan yel-yel.
“Turunkan harga sembako! Reformasi politik! Soeharto mundur!”
"Turunkan harga sembako!"
"Turunkan Soeharto!"
"Ganti sistem pemerintahan!"
"Hentikan krisis moneter!"
Awal-awal aksi mereka tampak damai. Mereka meneriakkan tuntutan mereka sambil menunggu orasi besar dari mantan Kepala Angkatan Darat Jenderal Abdul Haris Nasution. Namun ternyata saat itu, Abdul Haris batal datang. Massa mahasiswa kemudian melanjutkan aksi berjalan kaki ke gedung DPR/MPR di Senayan, Jakarta Pusat. Jaraknya sepuluh kilometer lebih dari Kampus Trisakti di Grogol, Jakarta Barat.
Dewa melihat sosok yang menyerupai dirinya itu ada di antara mereka. Ia tampak gagah mengenakan almamater berjalan di barisan paling depan. Karena penasaran, Dewa mengikuti pemuda itu dari belakang.
"Woi, Pak Tua, jangan menghalangi jalan! Anda mahasiswa abadi? Kok ada sih yang setua Anda?" umpat salah seorang mahasiswa yang merasa terganggu karena Dewa tidak kunjung berjalan maju.
"Ah, maaf!"