BAB 15
Kerusuhan Mei 1998 menjadi salah satu fragmen sejarah terburuk yang pernah dialami Indonesia sesudah merdeka. Setahun sebelum tragedi Mei 1998, nilai tukar rupiah jatuh ke titik nadir, mencapai enam belas ribu rupiah per dolar Amerika. Dalam waktu bersamaan, Indonesia gagal membayar utang dalam kurs dolar Amerika. Tak sampai 12 bulan, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia terpangkas 13,5 persen. Di tengah himpitan ekonomi, pemerintahan Orde Baru menaikkan harga jual BBM hingga 70 persen. Alhasil, pemutusan hubungan kerja marak terjadi, memicu lonjakan pengangguran. Ketidakpuasan masyarakat pada kebijakan Presiden Soeharto selama mengelola krisis ekonomi menyulut demonstrasi dan seruan terbuka agar kepemimpinan rezim militeristik Orde Baru diakhiri.
"Turunkan Suharto!"
Gema suara mahasiswa masih terdengar saat Dewa duduk di tepi jalan. Kepalanya pening.
"Habisi Marta! Dia itu etnis Tionghoa!”
Entah suara siapa yang Dewa dengar, membuat mata lelaki itu membulat dan ia langsung mendekat ke sumber suara. Ia ingat, di tengah momen frustasi akibat krisis ekonomi, etnis Tionghoa yang menguasai perekonomian negeri ini dianggap menjadi biang kerok kesenjangan ekonomi. Sejak saat itu, sentimen anti Cina berkobar lewat serangkaian aksi penculikan aktivis, pemerkosaan, dan kerusuhan yang disebut banyak pakar dan peneliti sebagai hasil operasi yang rapi dan terstruktur.
"Marta bisa mati di tangan orang-orang laknat itu…" batin Dewa. Ia melihat gerombolan lelaki seperti preman sedang berbicara dengan orang yang sama dengan orang yang bertemu dengan Aryo.
"Hoi, Pak Tua! Cepat menyingkir! Polisi datang!" Rombongan mahasiswa mendorong tubuh Dewa menjauh.
"Ini semua gara-gara Dewa. Dasar jancuk! Orang kayak dia nggak bisa dipercaya!" kelakar salah satu demonstran.
"Apa? Dewa? Hei, Nak! Dari mana kau tahu itu?" tanya Dewa penuh selidik.
"Yah, informasi seperti itu bisa didapat di mana saja, Pak. Hati-hatilah dengan orang bernama Dewa. Bisa-bisa kau ditangkap polisi sia-sia kalau berurusan dengan anak itu!"
Dooor…..
Tembakan gas air mata mulai menguat di dekat Dewa. Lelaki itu mau tidak mau harus segera meninggalkan lokasi tersebut secepatnya. Ia jelas tidak mau kalau dirinya ditangkap.
Kepala Dewa kembali terasa pening. Dewa masih tidak percaya, mendengar Aryo merencanakan fitnah atas dirinya dengan memfitnahnya sebagai provokator. Ingatan Dewa mulai mengalir kembali. Samar ia bisa mengingat kejadian penyekapan dirinya waktu itu. Ia tidak bisa kemana-mana dan pasca dibebaskan ia dikejar-kejar polisi tanpa tahu apa kesalahannya.