BAB 16
Dewa tidak sadarkan diri di Ruang ICU. Ia bisa melihat kesibukan perawat dan dokter. Ia juga bisa melihat tangis Marni pecah melihat kondisinya yang mengenaskan. Darah masih terus menetes di kepalanya yang dibalut perban. Sejumlah kabel telah menempel di badannya. Dewa melihat seisi ruangan berputar hebat. Dewa memejamkan kedua matanya. Beberapa kali Dewa memanggil Marni.
“Bu, ke sini, Bu… Temani Dewa! Sakit sekali, Bu…!”
Dewa berteriak. Namun suaranya seperti lenyap ditelan angin. Tidak seorang pun yang mendengar teriakannya.
Sayup telinganya mendengar suara yang sangat dikenalnya.
“Aryo…” lirih Dewa.
Dewa membuka perlahan penglihatannya. Ia tidak lagi melihat seisi ruangan yang berputar seperti tadi. Ia juga tidak mendapati perawat dan dokter yang sibuk memberikan sejumlah tindakan. Bahkan beberapa kabel yang menempel di tubuhnya juga sudah tidak ada.
Samar, Dewa melihat Aryo berada di sebuah ruangan bersama seseorang bertubuh tinggi tegap. Keduanya terlihat sedang bercakap-cakap. Dewa berjalan mengendap lalu bersembunyi di balik sebuah lemari besar.
“Kerja bagus, Aryo! Si Dewa memang harus diamankan!”
“Tapi… kami gagal mendapatkan negatif filmnya, Pak!” jelas Aryo sedikit panik.
“Nggak masalah. Yang penting si Dewa telah berhasil kalian bikin hilang ingatan…” Pria bertubuh tinggi tegap itu terkekeh lalu mengisap sebatang rokok kretek dan mengembuskannya perlahan ke udara. Gulungan asap mulai menari-nari di antara suara tawanya yang berat.
“Benar, Pak. Kami sudah memastikan si Dewa koma untuk jangka waktu yang tidak bisa dipastikan. Itu menurut penjelasan dokter,” tegas Aryo.
Pria tersebut kembali terkekeh mendengar penjelasan Aryo. Ia kemudian mengeluarkan sebuah bungkusan dari balik jaket hitamnya lalu menyerahkan pada Aryo.
“Hitunglah…”
Dengan cepat, Aryo mengeluarkan segepok rupiah dari balik bungkusan yang baru saja ia terima. Dengan mata berbinar, Aryo mulai menghitung.
“Apa masih kurang?” Pria itu tersenyum sinis.
“Nggak… Nggak, Pak. Sudah cukup, Pak…”
Secarik senyum melengkung di kedua ujung bibir Aryo.
“Baik, kau bisa kembali ke markas sekarang. Lakukan semua dengan rapi. Aku tidak mau ada satu jejak pun yang tercecer… Jika itu terjadi, nyawamu taruhannya! Pastikan semua bersih!”
Pria itu menatap tajam Aryo lalu menginjak sisa puntung rokoknya. Ia kemudian berlalu meninggalkan Aryo yang belum beringsut dari posisinya. Sosok pria bertubuh tinggi tegap telah hilang di ujung lorong. Aryo buru-buru memasukkan segepok uang yang baru saja ia terima ke balik bajunya.
Dewa menyaksikan semua itu dengan mata nanar. Mulutnya berdesis, “Dasar pengkhianat!”
Dewa keluar dari tempat persembunyiannya. Ia bermaksud menghadang Aryo yang melintas di hadapannya.
“Berhenti kau pengkhianat!”