BAB 17
Marni berjalan bersama Andra. Penampilannya terlihat rapi dengan kemeja lengan panjang yang digulung hingga siku. Keduanya menghampiri Dewa yang menyandarkan tubuhnya di atas sofa. Sebuah kamera analog berwarna hitam dan tumpukan album berjajar di atas meja. Dewa terlihat memejamkan mata. Ingatannya sedang mengembara. Berbagai kepingan peristiwa berkelebat. Ia melihat wajah Putri melintas. Gadis itu tampak bingung saat Dewa menyelipkan negatif film ke dalam tasnya. Namun kemudian bayangan Putri lenyap berganti sosok Marta dengan kondisi tubuh mengenaskan. Sekujur tubuhnya penuh lebam. Lalu berganti muncul sosok Johan. Jantung Dewa berdetak kian cepat.
Dewa tidak menyadari kehadiran Marni dan Andra. Hingga suara Marni dengan lembut membuyarkan lamunan Dewa.
“Dewa… lihat siapa yang datang…”
Marni menepuk bahu Dewa. Dewa masih belum membuka matanya. Kepalanya berdenyut.
“Dewa…”
Saat pikiran Dewa mulai bergerak ke masa lalu, suara Marni terdengar sayup di telinganya.
“Ibu…”
Secepatnya Dewa membuka mata, berharap suara yang ia dengar adalah sosok ibunya. Dewa melihat sepotong wajah dengan senyum mengembang.
“Ibu… Ibu sama siapa?” Dewa memicingkan matanya. Samar, ia seperti mengenali sosok yang berdiri di belakang ibunya. Terasa tidak asing, tapi Dewa juga tidak mampu mengingat nama dari sosok tersebut dengan baik. Ingatannya masih berkelana ke masa lalu.
Marni terlihat sedih. Ia menatap Dewa dengan pandangan kosong, mengapa Dewa bisa lupa secepat itu padahal Dewa baru bertemu Andra beberapa hari yang lalu di rumah sakit.
“Dewa… masih ingat siapa yang datang ke rumah sakit berdua beberapa hari yang lalu? Teman Dewa kuliah… Ehm… teman Dewa demo…” suara Marni tercekat.
Dewa tidak menjawab. Pandangannya lurus ke arah Andra. Sepasang mata keduanya saling berserobok.
Marni mengambil sebuah album foto di atas meja. Untuk beberapa saat, Marni tampak membuka lembaran demi lembaran foto dalam album. Ia kemudian menunjukkan satu foto pada Dewa.
“Ini kalian bertiga. Dewa masih ingat…?”
Dewa masih belum menyahut.
“Dewa… kita tiga hari yang lalu ngobrol banyak di rumah sakit. …”
Dewa menarik napas panjang. Suara serta wajah yang sangat tidak asing baginya. Dewa mengalihkan pandangan pada foto di tangan Marni.
Bibir Dewa mulai bergerak perlahan. “Andra… Andra… Wibawa…”