BAB 19
Dewa melayangkan tinjunya ke Aryo tapi Andra dengan sigap menahannya.
“Sabar, Wa! Jangan emosi!” Dengan sekuat tenaga, Andra menahan kedua tangan Dewa yang terayun.
Melihat Dewa tidak main-main, Aryo secepatnya bersiaga dan meningkatkan kewaspadaan.
“Yo, jangan ladeni! Kita ini sahabat!” teriak Andra.
Suasana di depan pintu makin ricuh. Dewa menepiskan tangan Andra dan bermaksud melayangkan tinjunya. Namun Aryo berhasil mengelak. Saat Dewa bermaksud melancarkan pukulan, suara Marni terdengar lirih melerai kegaduhan tersebut.
“Wa, hentikan!” Andra bersikeras melerai. Ia bersiap pasang badan jika Dewa kembali menyerang Aryo.
“Dewa… Ada apa…?”
“Ibu…” Dewa tersadar, ibunya sedang tidak baik-baik saja. Dewa secepatnya membalikkan badan, melangkahkan kaki menuju ibunya yang terbaring lemah di atas sofa di ruang keluarga.
“Wa… mengapa ribut-ribut… Itu Andra sama Aryo, kan?” Dengan tubuh yang masih lemah, Marni berusaha menegakkan badan.
“Bu, Dewa minta tolong Pak Warno, ya. Kita ke rumah sakit sekarang.”
Dewa menarik napas panjang. Dadanya masih bergemuruh. Saat itulah Aryo dan Andra berjalan mendekati mereka.
“Maaf, Bu. Kita sudah bikin kegaduhan di sini…” Andra membungkuk. Ia merasa bersalah.
Marni tersenyum tipis. Ia menggelengkan kepala.
“Ehm… sebenarnya tadi kita ke sini karena…”
Belum selesai Aryo bicara, Dewa meraih kerah baju Aryo dan menariknya dengan kasar.
“Kamu nggak perlu lagi mencampuri urusanku dan ibuku!” ancam Dewa.
Kedua mata Aryo terbelalak. Rasanya ia tidak percaya atas apa yang baru saja terucap dari bibir Dewa. Sepertinya ingatan Dewa memang sudah bekerja seratus persen.
“Wa, kedatangan kami ke sini ini dengan niat baik. Kami ingin membantu kalian. Andra bilang Bu Marni sudah beberapa kali mendapat teror, bahkan beberapa resto kalian juga dibakar…”
Andra menyikut Aryo. Ia tidak ingin perkataan Aryo makin memperkeruh suasana.
“Gini, Bu. Ehm… apa nggak sebaiknya Bu Marni lapor polisi saja? Kebetulan saudara Andra kan polisi. Biar ada yang menjaga keamanan Bu Marni,” ucap Andra.
Mata Dewa mendelik mendengar perkataan Andra. “Rencana busuk apa lagi yang kalian siapkan untuk mencelakaiku, hah?” sungut Dewa.
Perkataan Dewa membuat telinga Aryo panas. Lama-lama ia tersulut emosi mendengar ucapan Dewa. Ia memutuskan melawan perkataan Dewa jika laki-laki itu benar-benar sudah pulih ingatannya. Aryo telah menyiapkan sederet alibi. Tidak diragukan lagi, ia sungguh piawai dalam hal ini.
Andra mengedipkan mata ke arah Aryo, memberi isyarat agar Aryo bisa bersikap tenang.
Terdengar suara mesin mobil dimatikan dari halaman rumah. Pak Warno muncul dari balik pintu ruang tamu. Ia tampak berjalan tergopoh-gopoh memasuki ruangan bercat serba putih itu.
“Maaf, Bu. Kita jadi ke rumah sakit, kan?” tanya Pak Warno memastikan.