BAB 20
“Ibu…!” Dewa menjerit sekencang-kencangnya. Namun, ia tidak lagi melihat sosok Marni yang bersimbah darah. Kini, Dewa berada di gedung kampus Trisakti. Dewa melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, 10 Mei 1998. Ia melihat suasana kampus dipenuhi mahasiswa yang lalu lalang. Ada di antara mereka yang membawa spanduk. Beberapa tampak duduk di taman dan sedang membahas sesuatu dengan serius. Dari perbincangan mereka, Dewa bisa merasakan suasana Jakarta makin membara. Demo terjadi di sejumlah kota besar di tanah air. Mereka menuntut Pak Harto segera lengser.
Dewa melangkah, membaur di antara kesibukan mahasiswa. Sorot matanya terarah pada seseorang yang sangat ia kenal, Aryo. Dewa mempercepat langkahnya. Dewa mengejar Aryo di percabangan selasar.
“Aryo! Berhenti!”
Tekad Dewa sudah bulat. Ia harus menghentikan sepak terjang Aryo. Ingatannya akan sahabatnya itu telah terjalin utuh.
Aryo menoleh. Ia menghentikan langkahnya. Keningnya mengernyit. “Anda memanggil saya?” ucap Aryo bingung.
“Hei! Dasar manusia licik!” Dewa berteriak keras, membuat sejumlah mahasiswa mengarahkan pandangan pada Dewa. Mereka saling berbisik.
“Panggil satpam saja, Yo! Sepertinya dia orang gila! Atau… jangan-jangan penyusup!” bisik seorang mahasiswa yang menghampiri Aryo.
Dewa mendelik. Ia melihat sosok dirinya yang masih muda membisiki Aryo. Akhirnya, mahasiswa yang ada di tempat itu berkerumun mengelilingi Dewa. Mereka bersiap-siap menangkap Dewa.
“Aku bukan penyusup! Aku bukan orang gila!”
Mereka ramai-ramai mengejar Dewa. Dengan napas terengah-engah, Dewa berlari sekencang-kencangnya.
“Ke gedung sana, Dewa!” terdengar suara berdenging di telinga Dewa.
“Abah Yai…” gumam Dewa.
Akhirnya Dewa berhasil lolos dari kejaran. Ia bersembunyi di sebuah bangunan tua di bagian belakang kampus. Napas Dewa terengah-engah.
“Abah Yai di sini…?” Dewa mengedarkan pandangan. Ia berharap bisa bertemu dengan Abah Yai. Namun Dewa tidak mendapati siapa-siapa. Suasana senyap dan gelap. Sarang laba-laba bertengger di pojok-pojok bangunan. Bangku-bangku berserakan berselimut debu.
Dewa mengusap peluh di keningnya. Ia menyisir ruangan. Kerongkongannya mulai kering. Akhirnya Dewa menghentikan langkahnya. Kakinya terasa seperti mau patah. Dewa duduk di lantai kusam penuh debu. Dewa mengatur napas.
“Dewa…”
Terdengar suara berdenging di telinga Dewa.
“Abah Yai di sini? Dewa lelah, Abah…” gumam Dewa.
Dewa berselonjor. Rasa dahaga makin menjadi. Bibirnya tampak kering. Kerongkongannya seperti tercekik.
Sebuah kabut tipis menari-nari di hadapan Dewa. Berikutnya muncul sosok berjubah putih berjalan mendekati Dewa yang napasnya tersengal-sengal.