BAB 22
Suara linggis terdengar beradu dengan tanah. Putri sibuk menggali di sepetak tanah terbuka di samping dapur. Tangannya penuh tanah. Ia menggali secepat mungkin hingga tangannya terkantuk benda keras di sana. Putri mempercepat usahanya. Ia mengambil sebuah kotak besi berukuran kecil dari dalam galian lalu membersihkannya. Kemudian ia bergagas membawa benda tersebut pada Dewa.
Putri menghampiri Dewa yang terlihat menyeka sisa-sisa air matanya.
“Kamu menangis, Wa…?”
“Ehm… maaf, Put. Tiba-tiba saja aku teringat ibu. Beliau meninggal setahun yang lalu…” ucap Dewa penuh kesedihan.
“Dewa… aku turut berduka cita. Kamu… yang tabah, ya…”
Dewa mengangguk. Raut muka Putri menunjukkan kepedihan. Ia bisa merasakan kehilangan yang dialami Dewa. Setahun tentu saja bukan waktu yang mudah untuk melupakan kepergian seseorang untuk selamanya.
"Wa, aku ingin mengembalikan ini. Ini benda yang kamu titipkan dulu padaku saat kerusuhan."
Putri mencongkel gembok kotak besi itu. Di dalammya ada negarif film milik Dewa.
"Ambilah, Wa. Ini milikmu. Amanat dari kamu sudah aku laksanakan. Sekarang aku bisa menghabiskan sisa umurku dengan tenang," ucap Putri diiringi lengkung senyuman di bibirnya.
"Terima kasih banyak, Put."
Dewa meraih benda kecil itu lalu memasukkan negatif film itu ke saku celananya.
"Pak, Pak Dewa. Pak... Anda baik-baik saja?"
Pandangan Dewa memudar. Dewa tersadar. Ia saat ini berada di klinik psikiater pribadinya.
"Apa Pak Dewa bisa mendengar suara saya?”
Dewa tidak menyahut. Keringat dingin mulai membasahi keningnya.
“Bapak istirahat dulu, ya… Saya akan menyiapkan obatnya."
Dewa bingung, bagaimana bisa ia ada di klinik. Bukankah baru saja ia sedang berbincang bersama Putri di Garut sementara klinik berada di Jakarta. Dengan tergesa, Dewa mencari sesuatu di saku celananya. Ia tidak mau kehilangan negatif film yang baru saja dia dapatkan. Ternyata benda itu masih ada di sana.
Dewa bergegas mengambil ponselnya dan menghubungi Kak Bakri. Ia bermaksud mengabarkan penemuannya itu.
"Gimana Wa hasil pemeriksaannya?" tanya Andra saat Dewa selesai sesi konsultasi.
Hari itu Andra meluangkan waktu mendampingi Dewa terapi. Hubungan keduanya mulai membaik pasca meninggalnya Marni. Andra pun telah meminta maaf atas kebodohannya masa itu. Ia telah tertipu oleh kata-kata licik Aryo dan berhasil dimanfaatkan Aryo. Keduanya telah bertekad memperbaiki hubungan persahabatan tersebut seperti harapan Marni.
"Kita ke tempat Kak Bakri sekarang, Ndra."
"Hah, ngapain? Bukannya kasus Aryo udah kelar, ya?"