Sempat terpikir untuk tidak merespon perkataannya itu, tapi ada semacam bunyi “klik” dalam benakku yang memutar perkataan Ayah, “Kalau kamu melihat kesempatan menolong orang, dan kamu mampu, cepat lakukan seperti orang lapar melihat makanan. Percayalah, Ian, niat baik akan selalu berakhir baik.”
Aku tersenyum dan kemudian berkata, “Aku juga. Ayo kita cari makan.” Akupun bangkit.
“Tapi aku tidak punya uang,” katanya.
“Aku punya. Ayo. Omong-omong namaku Ian.” Aku bangkit dan sedikti berharap dia memperkenalkan diri. Tapi dia tidak menjawab, meski dia ikut beranjak dan mengikuti langkahku. Ah, tak usah terlalu dipikirkan ….
Awalnya aku kira bisa menemukan semacam warung nasi atau semacamnya; yang bisa kutemukan terdekat hanyalah sebuah warung kopi yang juga menyajikan penganan berupa kue balok dan kue cubit.
“Dengar, mungkin bukan makan seperti yang kamu bayangkan, tapi kue balok sama kopi nggak apa-apa, `kan?” kataku.
Dia mengangguk. “Bagaimanapun aku berterima kasih.”
Aku tersenyum. Dia berterima kasih dan itu pertanda baik. Ya, `kan?
Warung kopi itu berupa gerobak dorong dengan satu bangku kayu di depannya, dan berpartisi kain blacu yang tak lagi putih bertuliskan “Warung Kopi dan Kue Balok”. Kami masuki warung itu dan duduk di bangku kayu itu.
“Bang, kopinya,” kataku kepada satu-satunya orang di sana—yang sebelum kami datang tampaknya sedang asik dengan smartphone-nya. “Kamu mau apa?” tanyaku pada gadis itu.
Tanpa berkata dia menunjuk rencengan bungkus kopi instan bertuliskan “Vanilla Latte” yang menggantung di gerobak itu.
Dengan sigap pemilik warung kopi ini menyiapkan pesanan kami sementara aku mengambil satu dari kue balok yang bertumpuk bak piramida, yang dihangatkan hanya oleh lampu bohlam.
“Ayo, silahkan. Nggak usah sungkan,” tawarku pada gadis itu.
Agak ragu, dia terima tawaranku dan mengambil satu kue balok.