Aku tarik napas panjang sebelum berkata, "Dengar. Mungkin aku nggak bisa terlalu banyak membantu, tapi aku bisa menemani kamu melapor ke polisi."
"Sungguh?" tanggapnya. Cukup jelas buatku kalau dia merasa senang dan lega mendengar perkataanku. “Ta-tapi bagaimana dengan urusan kamu? Kamu mau pergi, `kan?”
"Urusanku bisa ditunda," jawabku. Dan kemudian sebuah ide berkelebat cepat, "Bagaimana kalau seperti ini. Sebagai langkah awal, kita datangi rumah sakit kamu itu. Pastilah sekarang sudah banyak polisi di sana. Soalnya ada mayat yang mau membunuh kamu itu. Ya, `kan?"
Dia mengangguk dan tampaknya ada semacam aprehensif sekaligus harapan dari binar matanya. Juga keragu-raguan yang pekat. Lalu, aku lihat dia merunduk dalam, tampak berpikir.
"Kita pergi kalau kamu sudah siap," kataku sambil mengangkat gelas kopiku dan menghirupnya.
Aku dengar dia menarik napas kencang dan menghembuskannya kuat-kuat. “Ya, aku siap!” terdengar tegas meski hanya berupa gumaman.
Aku mengangguk, tersenyum sekedar meyakinkan dirinya kalau aku juga siap membantunya, meski … aku sendiri merasa cemas. Cemas karena peluang masalah begitu besar, tapi aku juga tidak bisa membiarkan gadis itu sendirian.
Niat baik akan berbuah baik, gumam batinku, paraphrasing kata-kata Ayah, sambil beranjak berdiri. Aku bayar kopi dan camilan kami, lalu pergi.
Tak lama setelah kami tinggalkan warung kopi itu, sempat aku bertanya rumah sakit yang mana, tapi dia menjawab tidak tahu, tapi dia ingat persis jalannya. Sebelum langkah kami lebih jauh meninggalkan terminal bis, aku mampir ke sebuah kios di luar gerbang terminal untuk membelikan gadis itu sepasang sandal jepit. Kaki itu pasti sakit dan kedinginan menapaki lantai beton terminal bis.
“Sepertinya aku berhutang banyak sama kamu,” kata gadis itu sambil mengenakan sandal jepitnya.
“Tidak. Kamu tidak berhutang apa-apa,” tanggapku. “Ayahku pernah bilang, ketika kita menolong orang lain sebenarnya kita menolong jiwa kita sendiri.”
“Sepertinya ayah kamu orang yang paling berarti buat kamu.”