Gang itu tanpa kami sangka berakhir di samping gerbang terminal bis, persis dekat kios tempat kami beli sandal jepit. Pada saat yang bersamaan, kami melihat sebuah bis antar kota keluar dari gerbang terminal. Entah spontan atau memang ada rencana, gadis itu menghentikan bis itu, dan sambil menarik tanganku, kami naiki bis itu. Aku tidak protes, tidak pula setuju, benakku masih gamang.
Perasaan gamangku mulai terurai ketika kami duduk di kursi bis dan kernet bis meminta ongkos kami. Aku keluarkan sejumlah uang tanpa berpikir panjang. Lalu, setelah kernet itu pergi aku berniat menuntut penjelasan kepada gadis itu. Tapi kemudian niat itu aku urungkan karena tersadar kalau gadis ini juga tidak tahu apa-apa, bahkan niat itu segera terkubur ketika kusadari tangan gadis itu masih mencengkram kuat tanganku, lalu kurasakan tangannya gemetar. Ia lepaskan cengkraman tangannya untuk menutupi wajahnya. Kudengar dia berbisik berulang-ulang, “Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang sebenarnya terjadi?”
Aku pejamkan mata sejenak, membiarkan pikiranku berhenti sebentar sebelum kembali membuka mata dan setengah sadar berbisik, “Aku juga tidak tahu.”
“Kamu bisa lihat sendiri, `kan?” katanya seraya membuka wajahnya dan menatap aku, tampak putus asa. “Aku memang tidak tahu siapa aku sebenarnya, tapi aku yakin kalau aku tidak punya kemampuan ... kemampuan macam tadi tapi … tapi …,” ia merunduk dalam dan mengakhiri kalimatnya dengan bisikan singkat, “Aku membunuhnya, Ian!” yang diikuti lirikan mata ke sekitar, berharap tidak ada yang ikut mendengar.
“Kalau kamu tidak membunuhnya, kita yang akan terbunuh, ya, `kan?” kataku, juga berbisik waspada.
“Tapi aku takut …, sangat takut.”
“Ya, aku tahu, dan sekarang bukan kamu saja yang takut.”
Sepertinya dia terpekur mendengar perkataanku karena dia segera menatapku. Kupaksakan seulas senyum yang kuharap bisa menenangkan dirinya, dan juga menenangkan diriku sendiri, tapi sepertinya malah menjadi canggung.
"Ma-maafkan aku. Sudah menyeret-nyeret kamu ke dalam masalahku."
Aku menggeleng cepat.
"Ayahku pernah bilang kalau penyesalan itu ada manfaatnya kalau ada hikmah yang bisa kita peras dari dalamnya," kataku seraya beranjak sedikit untuk melihat ke depan bis, ke kaca depan. Kulihat rangkaian huruf di kaca depan itu yang memberitahu aku kemana tujuan bis ini.
Bandung.
“Aku tidak melihat hikmahnya kalau sekarang kita menyesal,” sambungku seraya kembali duduk. “Sebaiknya sekarang, kita jangan berpikir apa-apa dulu selain berusaha untuk istirahat.”