“Siapa kamu?” tanyanya.
Seketika perasaan aprehensif menguasaiku dan membuatku hanya bisa berkata gugup, “Sa-saya bersama Maya?”
Dia tampak mengerenyit heran, “Tapi Maya ada di rumah sakit di Jakarta,” katanya.
Belum sempat aku menjelaskan, tiba-tiba aku dengar pekikan Maya, “Ian! Menyingkir!”
Aku berpaling dan melihat Maya mengacungkan pistol. Dan belum sempat aku mencerna situasi ini, tiba-tiba napasku terhambat dan kusadari seruas lengan kuat menghimpit leherku. Laki-laki tadi telah menyergapku dari belakang.
“Oh, jadi ini yang namanya Maya?” kata laki-laki itu dingin, berbeda sama sekali dengan sebelumnya. Napasnya terdengar tenang di telingaku, tapi terasa mengiris dan mengancam. “Aku tidak melihat apa yang mengancam darimu.”
Kurasakan degup jantungku menggedor-gedor dadaku.
Kulihat raut muka Maya mengeras. Matanya menajam seolah mencari celah untuk menyerang. Tiba-tiba terdengar suara musik yang cukup keras dan cukup mengejutkan. Jika dalam keadaan tenang aku mungkin akan tahu kalau suara itu adalah alarm mesin cuci yang sudah selesai melaksanakan tugasnya. Hanya saja, dalam keadaan tegang seperti itu, suara mengejutkan itu membuatku berpaling kaget dan saat itulah momen pilihan Maya menekan pelatuk dan DOR!
Badanku mengerejap sesaat, sebuah respon spontan jiwa yang tidak terbiasa dalam keadaan tegang seperti itu. Lalu kurasakan cengkeraman laki-laki itu mengendur dan jatuh. Aku tidak segera beranjak, malah terpejam sesaat, meresapi pertanyaan, “Apa yang sebenarnya terjadi?”
Ketika aku membuka mata kembali aku tidak melihat Maya. Lalu kusadari Maya sedang jongkok di dekatku—lebih tepatnya Maya sedang menggeledah mayat laki-laki itu. Perhatianku tersita dari Maya oleh wajah menganga laki-laki itu dengan lubang peluru di pelipis kanannya. Wajah yang tadi berbicara tenang dan percaya diri seolah akan hidup selamanya. Yang tadinya kuat dan mengancam, kini tidak berdaya mencegah tangan Maya merampas sebuah smartphone dari sakunya. Serapuh itukah hidup manusia?
“Ian,” panggil Maya.
Aku menoleh dan melihat Maya menunjukan smartphone itu, memperlihatkan kepadaku foto dirinya dengan tulisan dibawahnya berbunyi, “Mission Objective”.
“A-aku tidak mengerti,” tanggapku.
“Aku jadi sasaran yang mesti dibunuh,” jawab Maya dengan suara gemetar yang aku yakin dia sama tidak mengertinya dengan aku. Kenapa dia jadi sasaran? Siapa yang terancam oleh Maya hingga mesti membunuhnya? Apa yang mesti dilakukan selanjutnya?
“Lalu apa sekarang?”
Kulihat Maya letakan smartphone itu di atas mayat pemiliknya, lalu bangkit dan menghampiri jendela. Dia mengintip keluar dan berkata, “Tadi sewaktu aku di atas, waktu aku lihat dia masuk pagar, aku lihat di rumah depan, tetangga seberang jalan, di jendela lantai atas ada orang yang memberi isyarat kalau dia akan membunuhku dan aku mesti segera menyingkir.”
“Apa?” Aku terperangah.
“Tetangga seberang jalan sepertinya tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
Aku mengerenyit heran dan kemudian berkata, “Jadi kita mesti menemuinya.” Terus terang, aku berkata itu karena dorongan batin yang ingin segera tahu apa yang sebenarnya terjadi! Batin yang lelah dengan pertanyaan. Muak dengan misteri. Sepertinya Maya pun merasakan hal yang sama.
“Ya, tapi aku yakin dia tidak sendirian,” tanggap Maya sambil menatap mayat laki-laki yang kini berkubang genangan darahnya sendiri. “Di luar sana kita terlalu rentan. Kita tidak tahu dari mana mereka bakal menyerang.”